Headline

DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.

Pindah Partai, itu Biasa

FERDIAN ANANDA MAJNI
08/10/2018 05:45
Pindah Partai, itu Biasa
(MI/ADAM DWI )

TEKAD Lulung sudah bulat. Ia meninggalkan Partai Persatuan Pembangunan dan beralih hati ke Partai Amanat Nasional.

Pekan lalu, pria bernama lengkap Abraham Lunggana itu juga harus merelakan kursi Wakil Ketua DPRD yang ia duduki sejak 2014. Lulung pun melepaskan fasilitas dan jabatannya sebagai anggota dewan.

Bagi warga DKI Jakarta, nama Lulung sudah telanjur rekat dengan PPP. Masuk PPP setelah 2004, ia terpilih sebagai anggota DPRD DKI pada Pemilihan Legislatif 2009. Dia juga pernah mendapat kepercayaan besar menjadi Ketua PPP DKI Jakarta.

Riak di tubuh PPP membuat Lulung akhirnya memutuskan pindah kapal. Bagi Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi, Lulung pindah partai bukan hal yang baru.

“Sebelum masuk PPP, pada Pemilu Legeslatif 2004 dia mencalonkan diri dari partai lain, tapi tidak terpilih. Baru pada 2009, ketika maju dari PPP, dia lolos dan masuk DPRD DKI Jakarta,” tuturnya.

Kepindahan Lulung kali ini tidak sendiri. Ada empat anggota DPRD yang memilih melakukan hal serupa. Sama seperti Lulung, mereka juga merelakan kursi anggota DPRD yang seharusnya masih diduduki hingga 2019 lepas, kembali ke partai lama.

Keempat sekondan Lulung itu ialah Riano P Ahmad dari PPP pindah dan menjadi caleg lewat PAN, Wahyu Dewanto dari Hanura ke Gerindra, Jamuludin Lamanda dari Hanura ke PKB, dan Inggard Joshua dari NasDem ke Gerindra.

Jumlah partai
Bagi Benny Rhamdani, Ketua­ DPP Hanura, kepindahan politikus partainya ke partai lain merupakan persoalan pribadi. Selain di DPRD DKI Jakarta, tahun ini ada 12 anggota DPR dari partainya lompat ke partai lain.

“Itu persoalan pribadi mereka. Itu lumrah dalam berdemokrasi,” tuturnya.

Pelaku pindah partai, Okky Asokawati, mengaku galau saat memutuskan pindah dari PPP ke NasDem. “Namun, saya sangat tertarik dengan platform NasDem dan gagasan milenialnya melalui Akademi Bela Negara.”

Fenomena loncat partai yang banyak terjadi menjelang pemilihan umum, menurut pakar psikologi politik, Hamdi Muluk, sangat mudah terjadi di Indonesia karena jumlah partai yang terlalu banyak. Apalagi, ideologi setiap partai tidak jauh berbeda dari partai lain.

“Jadi dibilang tidak ada bedanya pindah ke partai A, B, atau partai C karena tidak ada platform partai yang khusus juga,” jelasnya.

Kondisi itu berbeda dengan di negara yang partainya sedikit dan ideologi setiap partai bisa bertolak belakang dengan partai lain. Ketika pindah partai, politikus yang bersangkutan bisa malu karena dinilai tidak punya pendirian.

Di Amerika Serikat, misalnya, tutur Hamdi, politikus dari Partai Republik sulit pindah ke Partai Demokrat. Sebaliknya, di Indonesia, tidak ada hukuman dari masyarakat bagi politikus yang pindah meski dengan alasan pragmatisme belaka.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu menambahkan perlu keberanian untuk membuat terobosan politik di Indonesia dengan mengurangi jumlah partai. Sama seperti keberanian untuk menetapkan parliamentary threshold yang besar.

“Jawaban dari para penggagas demokrasi sudah jelas. Mereka pasti akan berkata itu menghalangi hak orang membuat partai, menghalangi hak demokrasi,” tandasnya.

Hamdi Muluk mengingatkan ideologi diwakilkan oleh partai. Akan tetapi, sangat susah melihat sistem demokrasi berbasis ideologi atau idealisme selagi partai di Indonesia banyak. (Ant/J-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya