Headline
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.
KEMARIN petang, belasan orang di tepi kawasan Jalan Arteri Iskandar Muda, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menjajakan uang receh. Salah satunya, Ida, 35. Di tangannya ada segenggam uang pecahan Rp2.000, Rp5.000, Rp10 ribu. Ia selalu menawarkannya kepada pengguna jalan yang melintas.
Wajahnya ditutup dengan slayer dan topi untuk menghalau teriknya Jakarta.
Jika merasa lelah, sesekali Ida duduk di kursi plastik yang ia bawa dari rumah atau sesekali menyandar di tiang listrik. Setelah lelahnya hilang, ia kembali menawarkan uang pecahan tersebut pada pengguna jalan.
"Ini masih sepi, belum banyak yang menukarkan uang. Biasanya kalau H-1 baru ramai. Orang menukarkan uang pecahan untuk dibagikan saat Lebaran," ujar Ida.
Ida mengaku sudah lima tahun menggeluti bisnis ini. Khususnya setiap dua pekan menjelang Lebaran Idul Fitri. Biasanya ia bekerja mulai pukul 10.00 hingga pukul 18.00. Saat H-1 Lebaran, ia bekerja hingga pukul 22.00.
Ia menduga lesunya usaha yang dijalani disebabkan maraknya penukaran uang receh di perkantoran. Belum lagi kendaraan dari perbankan yang khusus melayani penukaran uang ke perumahan. "Apalagi tidak ada biaya jasa penukaran uangnya, di kitakan ada," ujarnya. Kesehariannya, Ida ibu rumah tangga dengan dua anak, sementara suaminya bekerja di tempat lain.
Uang tersebut, diakui Ida, milik bosnya, yang tinggal di Lebak Bulus. ia 'dimodali' hingga Rp20 juta dengan bunga 7%. Ia mulai aktif dua pekan menjelang Lebaran. Artinya selama dua pekan dia dibebani bunga 7%.
"Itu uang untuk dibungakan lagi 7%. Jadi dari total Rp20 juta selama dua pekan, biasanya keuntungan yang saya dapat Rp3 juta," tutur Ida.
Biasanya pada konsumen, Ida membuka harga Rp115 ribu untuk penukaran uang pecahan senilai Rp100 ribu. Namun, terkadang, konsumen akan menawarnya dengan harga Rp225 ribu untuk penukaran uang pecahan senilai Rp200 ribu.
"Sekarang masih sepi, masih jarang orang yang menukar uang. Dalam sehari saya bawa uang pecahan Rp10 juta, hanya laku terjual maksimal Rp3 juta saja. Nanti nunggu malam takbiran baru ramai," ujar Ida.
Melakukan pekerjaan menjual jasa penukaran uang, diakui Ida, bukannya tanpa resiko. Membawa uang dalam jumlah besar dan dijajakan di tepi jalan kerap mengundang aksi kejahatan orang lain untuk mencopet maupun merampasnya.
Seperti yang menimpa rekan Ida di kawasan Pondok Indah beberapa waktu lalu, ada yang pernah kena gendam atau hipnotis, juga tangannya sampai terluka mempertahankan uang yang hendak dirampas penjahat.
"Saya juga takut, jangan sampai terjadi pada saya. Makanya saya hati-hati sekali buat jaga-jaga. Supaya aman, saya pilih lokasi yang ramai saja dan ada banyak teman di sekeliling," kata Ida.
Risiko lainnya, kata Ida, ialah mendapat uang palsu. Karena itu, ia selalu mengecek uang yang didapatnya, dengan cara dilihat, diraba, dan diterawang terlebih dahulu. Hal yang sama juga ia sarankan pada konsumen sebelum menerima uang pecahan darinya. Namun, yang jelas, Ida memastikan uang yang dipegangnya semua asli.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved