Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
GURU Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, menyarankan agar organisasi ekstrakampus diizinkan kembali masuk ke kampus. Pasalnya saat ini lingkungan kampus terlalu didominasi apa yang disebutnya sebagai 'organisasi Islam kanan' yang cenderung menolak paham Pancasila.
"Organisasi Islam kanan itu seperti lembaga dakwah kampus, HTI, dan lainnya. Sejak ada NKK/BKK, organisasi ekstrakampus seperti HMI, PMII, IMM, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lainnya dilarang masuk kampus sehingga organisasi kanan mendominasi badan eksekutif mahasiswa (BEM)," ujar Azyumardi melalui pesan singkat, kemarin.
Kebijakan NKK/BKK berlaku setelah Daoed Joesoef, menteri pendidikan era Soeharto, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Hal itu menyebabkan kampus menjadi kawasan steril dari aktivitas politik.
Melalui kebijakan NKK/BKK, rezim Orde Baru mengarahkan agar mahasiswa hanya mengikuti kegiatan akademik dan menjauhkan mereka dari aktivitas politik karena dinilai dapat membahayakan posisi rezim.
Dengan munculnya UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, politik praktis makin tidak diminati mahasiswa karena sebagian ormas menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu.
Menurut Azyumardi, jika organisasi ekstrakampus diizinkan kembali masuk, mereka dapat menjadi kontra-gerakan dan kontrawacana bagi organisasi atau kelompok kanan sehingga radikalisme di lingkungan kampus tidak merajalela.
Dia juga yakin kehadiran organisasi-organisasi ekstrakampus tersebut tidak akan mengakibatkan kampus menjadi wadah politik praktis.
"Itu bukan politisasi kampus, tapi latihan berpolitik, berdemokrasi, dan kepemimpinan," kata Azyumardi.
Dalam menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Saddam Al Jihad mengungkapkan saat ini banyak kekeliruan anggapan terkait dengan pandangan Islam yang dianggap radikal serta nasionalis yang dianggap komunis. Karena itu, perlu ada penyatuan ritme melalui pandangan Islam yang tetap menjunjung nilai-nilai Pancasila dan keindonesiaan.
Saddam menambahkan, hal tersebut sangat bisa direalisasikan melalui jalur hukum.
"Tinggal frasa 'organisasi internal dan eksternal kampus' diubah Kemenristek-Dikti menjadi organisasi mahasiswa saja. Jadi, tidak ada pemisah-an," ungkapnya.
Preventif dan edukatif
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI), Asep Saefuddin, menyatakan pihaknya mengutamakan pendekatan preventif dan edukatif terkait dengan radikalisme di kampus.
"Intinya, FRI menolak radi-kalisme. Mereka yang mau keluar dari NKRI tidak dapat ditoleransi. Akan tetapi, FRI sepakat menggunakan pendekatan preventif dan edukatif," Asep menegaskan di Jakarta, kemarin.
Di sisi lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pihak universitas harus memberi pemahaman yang benar kepada mahasiswa untuk mencegah maraknya paham radikal di kampus.
"Jelang tahun ajaran baru, Mendikbud dan Menristek-Dikti diharap menekankan ke kampus untuk mengajar pemahaman yang tidak melanggar hukum dan tidak radikal," ujar Wapres. (Bay/Dro/X-11)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved