Headline
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
PEREKRUTAN pak ogah menjadi sukarelawan pengatur lalu lintas (supeltas) dinilai memperbaiki kesejahteraan mereka. Selama ini mereka masuk kategori penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Namun, harus dipikirkan keberlanjutan peran mereka. Program supeltas dikhawatirkan bersifat temporer.
"Saya kira akan lebih tertib dan sejahtera. Kami justru terbantu dengan dilegalkannya mereka," kata Kepala Dinsos DKI Jakarta Masrokhan kepada Metrotvnews, akhir pekan lalu.
Meski demikian, bukan berarti permasalahan kesejahteraan pak ogah selesai. Ia khawatir keberadaan supeltas bersifat sementara. Jika pembangunan infrastruktur transportasi yang selama ini menghambat jalanan Ibu Kota selesai, menurut Masrokhan, keberadaan supeltas bisa jadi tidak diperlukan lagi. Lantaran itu, pemberdayaan pak ogah menjadi supeltas hanya sementara. "Karena ini kan masih uji coba. Yang jadi masalah ialah keberlangsungan pembinaannya untuk dapat mandiri bagaimana," ungkapnya.
Apalagi belum ada lembaga yang bertanggung jawab atas keberadaan mereka. Jika sudah terbentuk, siapa yang bertanggung jawab.
"Kontinuitas ke depannya bagaimana, karena isu honorarium masih debatable. SKPD (satuan kerja perangkat daerah) terkait atau sponsorship ataupun CSR belum ada yang bertanggung jawab terhadap pembinaan, rekrutmen serta monev (monitoring dan evaluasi) terhadap tugas dan fungsi penugasan," jelas Masrokhan.
Ia menyarankan supaya selama diberdayakan, supeltas juga diberikan pelatihan, sehingga, nantinya mereka bisa mandiri. Selain itu, mereka juga tidak bergantung dengan kehidupan di jalan.
"Iya, jadi mereka harus dibina juga supaya bisa mandiri," tegasnya.
Satu masalah lain, bagaimana dengan pak ogah yang tidak direkrut menjadi supeltas. Solihin, salah satunya. Pria berusia 30 tahun itu mengaku tahu ada perekrutan supeltas oleh polisi. Tapi, pak ogah yang biasa mangkal di kawasan Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, itu tidak ikut bergabung. Tidak tahu bagaimana caranya.
"Enggak tahu juga bagaimana (bergabung). Dengar dari teman-teman saja itu," kata Solihin.
Mursid, kolega Solihin, juga tidak bergabung jadi Supeltas. Ia malah mengaku tidak tahu ada program polisi menggandeng 'pak ogah' jadi sukarelawan. Pria tamatan SMP itu pun mempertanyakan nasib pak ogah yang tidak menjadi supeltas.
"Lalu nasib kami bagaimana ya nanti?" ujar Mursid sembari terkekeh.
Mursid mengaku tak terlalu khawatir dengan profesinya walaupun tak gabung supeltas. Pak ogah yang biasa mangkal di persimpangan Jalan Arjuna, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu mengaku sudah biasa kucing-kucingan dengan petugas. "Ya kalau diusir, pergi kami. Kan enggak seharian juga diawasin," ungkapnya.
Keberadaan pak ogah di jalanan sejatinya masih menuai perdebatan. Ada yang merasa terbantu, tapi tak sedikit pula yang merasa gerah dengan keberadaan mereka. Mereka yang gerah menilai pak ogah penyumbang kemacetan.
Akan tetapi, kedua pak ogah itu tak merasa jadi benalu di jalanan. Selain cuma mencari makan, keduanya juga merasa membantu pengguna jalan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved