Menjadi Manusia Pinggiran di Menteng Buurt

DA/J-4
07/8/2017 09:13
Menjadi Manusia Pinggiran di Menteng Buurt
(Pembangunan saluran banjir dan pintu air Manggarai yang dikerjakan pada tahun 1918. Tempat tersebut menjadi saksi sejarah lalu lintas praktik perbudakan orang-orang Manggarai di Batavia. -- Dok. Arsip Nasional)

KISAH pahit kehidupan para budak dan pribumi asli Batavia di bawah pemerintahan Hindia Belanda tercatat dalam berbagai catatan sejarah. Berbagai kebijakan dibuat untuk menguntungkan satu pihak saja, diskriminatif terhadap pribumi.

Menteng Buurt salah satu gambaran kisah paling mencolok. Wilayah itu sengaja dibangun untuk permukiman para meneer (tuan/menir) Belanda, baik pejabat maupun pemilik perkebunan. Kawasan itu dirancang sebaik mungkin pada 1911.

Itu sebuah permukiman elok dan sehat yang tak boleh ‘tercemar’ pribumi. Warga Belanda umumnya yang tinggal di kawasan Menteng memberi batasan, orang pribumi dilarang masuk ke daerah mereka lantaran dinilai takut terlihat awut-awutan.

Bergeser sedikit saja maka Menteng Buurt berbatasan dengan Manggarai--wilayah para budak. Bahkan aktivitas penjualan pakan ternak saja sengaja dikonsentrasikan di Pasar Rumput di Manggarai. Mereka juga tidak ingin lingkungan Menteng kotor oleh ceceran rumput apabila kegiatan jual beli pakan ternak sampai masuk area mereka.

Mengirim banjir
Burgelijke Openbare Werken (BOW), fungsinya serupa Kementerian Pekerjaan Umum di masa kini, diminta me­rancang penataan Menteng Buurt agar terhindar dari banjir. Berkembangnya perkebunan yang menciptakan eksploitasi lahan mengurangi banyak daerah resapan. Banjir pun menjadi ancaman utama.

“Setelah itu Belanda juga memikirkan bahwa banjir sudah menjadi problem Kota Batavia,” ujar sejarawan Restu Gunawan.

Tim yang digagas insinyur Belanda Prof Hendrik van Breen itu sudah sejak akhir abad ke-18 melakukan penelitian tentang sungai-sungai yang ada di Batavia untuk menanggulangi ancaman banjir. Sebuah masterplan pun dibuat. Mereka berencana membangun sejumlah pintu air.

“Logika bodoh saja, tidak usah pakai penelitian. Ketika sungai dibendung, sementara Ciliwung tuh tipikalnya datang dari arah Gunung Salak, belum lagi melintasi perkebunan dan pasti membawa pasir atau tanah dan mengakibatkan sedimentasi di pintu air, pada akhirnya, atasnya selalu banjir, kira-kira seperti itu,” paparnya.

Pintu air pertama kali dibangun di Kampung Gusti serta Matraman supaya kawasan Menteng tetap sehat. Pada 1913 dibangun pula Pintu Air Manggarai sebagai pengatur aliran air pada kanal dari arah Karet.

“Kalau main ke Pintu Air Manggarai ada plakat Hendrik van Breen. Menerangkan bahwa 1919 pembangunan pintu air selesai dikerjakan,” ungkapnya.

Namun, di balik itu, pembangun­an Pintu Air Manggarai sengaja diren­canakan untuk membelokan air supaya tidak melintasi Menteng. Sebagai imbasnya, daerah Manggarai yang mulai dihuni warga pribumi terus terendam air.

“Fenomenanya selalu Bukit Duri dan Manggarai selalu banjir. Itu karena di sini (Pintu Air Manggarai) dibendung dan dialihkan ke kiri. Belanda kan tidak memikirkan orang pribumi. Mereka mementingkan komunitas sendiri,” papar Restu.

Pada 1944 kondisi lingkungan Manggarai kian memburuk. Berbagai penyakit, mulai cacingan hingga wabah nyamuk malaria, terus menghantui warga. (DA/J-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya