PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2018 menjadi momentum untuk merenungkan hubungan erat antara pendidikan dan kebudayaan. Selain itu, peringatan Hardiknas menjadi momentum melakukan muhasabah, mesu budi atau refleksi terhadap usaha-usaha yang telah diperjuangkan di bidang pendidikan.
“Pada Hardiknas 2018 ini, kita perlu merenung sejenak untuk menengok ke belakang, melihat apa yang telah kita kerjakan di bidang pendidikan, untuk kemudian bergegas melangkah ke depan guna menggapai cita-cita masa depan pendidikan nasional yang didambakan,” tegas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada upacara peringatan Hardiknas 2018, yang digelar di Halaman Kantor Kemendikbud, Rabu (2/5).
Pada kesempatan itu, Mendikbud juga mengatakan, reformasi sekolah, peningkatan kapasitas, dan profesionalisme guru, kurikulum yang hidup dan dinamis, sarana dan prasarana yang andal, serta teknologi pembelajaran yang mutakhir, menjadi keniscayaan pendidikan di Indonesia. Karena itu, dia mengajak semua pihak harus bergandeng tangan, bahu-membahu, bersinergi memikul tanggung jawab bersama dalam menguatkan pendidikan.
“Kita optimistis Indonesia memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk menjadi bangsa besar dan maju, asal kita bersatu padu mewujudkannya,” tuturnya.
Hal senada dilontarkan Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), E Nurzaman. Di ruang kerjanya usai mengikuti upacara peringatan Hardiknas 2018, Nurzaman pun menambahkan, bahwa tantangan pendidikan ke depan semakin besar. Satu contoh, tantangan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja atau usaha. Harus link & match.
“Pendidikan loncat satu langkah, dunia usaha loncat dua langkah. Karenanya, wajib sinergi antara dunia pendidikan dengan dunia usaha,“ jelasnya.
Berbagai Program GTK
Sebagai instansi yang bertanggungjawab pada pembinaan terhadap para guru dan tenaga kependidikan sebagai satu pilar penting untuk memajukan pendikan di Tanah Air, kata Nurzaman, Kemendikbud terus menerus melakukan berbagai program peningkatan kapasitas, kompetensi, hingga peningkatan kesejahteraan para guru. Termasuk juga ketersediaan guru-guru di daerah perbatasan maupun daerah terpencil, terluar dan terdepan (3T).
Ia mengungkapkan, saat ini jumlah guru di Indonesia lebih dari 3,17 juta jiwa. Sekitar 1,48 juta guru, sudah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sisanya, guru bukan PNS. Guru-guru ini kualifikasinya bermacam ragam. Sebagian besar sudah sarjana Strata 1 (S1) dan sarjana D4, sesuai dengan tuntutan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sebagian kecil saja yang belum.
Karena itu, sebagai upaya meningkatkan pemenuhan guru yang berstatus S1, Ditjen GTK tak berhenti melaksanakan program bantuan biaya pendidikan untuk para guru tersebut. “Tahun ini, kita memberi bantuan biaya pendidikan S1 kepada 18 ribu guru di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Ia mengakui, program bantuan pendidikan S1 untuk para guru ini, dalam pelaksanaannya tak semudah yang dibayangkan, karena ada sejumlah kendala. Terutama, untuk guru-guru di daerah perbatasan dan 3T.
Pertama, kendala jarak tempuh yang sangat jauh antara tempat guru itu bertugas dengan tempat kuliah. Kedua, ada yang bisa dijangkau, tapi kenyataan status Perguruan Tinggi (PT) untuk kuliah itu belum memenuhi persyaratan atau belum terakreditasi. Berikutnya, ada status PT memenuhi persyaratan, tapi tidak relevan antara bidang yang harus diajarkan dengan guru yang harus kuliah.
Namun begitu, undang-undang memberi kesempatan dan kebebasan untuk para guru ini tetap mengajar. Karena mereka diangkat sebelum ada UU. “Adapun GTK sendiri tetap berupaya meningkatkan kemampuan dan kompetensi mereka dengan memberikan berbagai pelatihan,” kata Nurzaman.
Selanjutnya, dengan meningkatnya kompetensi, secara beriringan Ditjen GTK melakukan program peningkatan kesejahteraan para guru. UU 14 mengamanatkan, bila bersertifikat maka guru baik PNS maupun bukan PNS, berhak mendapat tambahan tunjangan profesi guru sebesar 1 kali gaji pokok. Kemudian, bagi guru yang bertugas di daerah khusus (daerah 3T), dapat lagi tunjangan sebesar 1 kali gaji pokok.
“Menurut saya, untuk beberapa hal, terutama guru PNS dan bukan PNS yang sudah bersertifikat pendidik, relatif sudah cukup bagus tingkat kesejahteraannya,” imbuhnya.
Namun demikian, Nurzaman juga mengakui, guru-guru honorer di daerah yang masih jauh dari sejahtera. Kenapa? Karena peningkatan kesejahteraan bukan hanya tugas dari pemerintah pusat. Bahkan, sebenarnya menjadi tugas pemerintah daerah (Pemda) karena guru diangkat mereka.
“Guru daerah diangkat Pemda. Guru swasta diangkat yayasan. Yayasan yang harus memperhatikan kesejahteraan guru-guru itu. Pemerintah pusat sifatnya hanya membantu,” ungkapnya.
Ia menambahkan, untuk kesejahteraan guru honorer atau bukan PNS, GTK memberikan bantuan insentif setiap bulan sebesar Rp300 ribu. “Kami menganggarkan setiap tahunnya sekitar Rp400-500 miliar. Tapi, tidak semuanya. Hanya yang memenuhi persyaratan, yakni sudah S1 dan mengajar linier dari ijasah yang dimiliki dengan pelajaran yang diberikan, serta beban mengajar,” terangnya.
Nurzaman menegaskan, dalam melaksanakan Nawacita membangun Indonesia dari pinggiran, Ditjen GTK sejak 2015 silam telah menempatkan 798 ribu guru yang disebut Guru Garis Depan (GGD). “Guru ini sudah S1 dan bersertifikat. Kemudian, 2017 lalu, diangkat lagi 6.200 GGD. Tersebar di ratusan kabupaten di Papua, Papua Barat, NTT, dan Aceh,” pungkasnya. (RO/X-10)