MELANJUTKAN sekolah dan meniti karier di Turki lantas pulang ke negeri kelahiran. Itulah yang kini dilakukan dan dicita-citakan Mohammed.
Mohammed bukanlah warga negara Turki. Ia menetap di negara yang terletak di dua benua, Asia dan Eropa, itu sejak empat tahun lalu, tepatnya empat bulan setelah perang mulai berkecamuk di negeri asalnya, Suriah. Karena tidak lagi memiliki tempat tinggal dan tidak terjaminnya keamanan di kampung halaman, laki-laki berusia 22 tahun itu pergi mencari tempat bernaung lain. Kini ia menemukannya.
Mohammed tidak seperti kebanyakan pengungsi lain yang rela melakukan apa saja, bahkan bertaruh nyawa, untuk benar-benar masuk ke daratan Eropa. Bermukim dan mencari rezeki di Benua Biru bukanlah impiannya. "Saya tidak ingin ke Eropa," ucap Mohammed.
Laki-laki yang kini mengambil jurusan bahasa Turki di salah satu universitas di Mardin, sebuah kota di selatan Turki, itu mengatakan ia akan terus belajar hingga lulus kuliah dan membangun hidup di negara itu. "Saya ingin berada di sini dan saya masih punya cita-cita untuk kembali ke Suriah jika nanti perang telah berakhir," lanjut Mohammed.
Orang-orang seperti Mohammed-lah yang kini dicari dan diusahakan bermunculan oleh Uni Eropa (UE). Mereka pengungsi Suriah yang menemukan kehidupan tenang di Turki, tanpa memiliki perasaan menggebu-gebu untuk memijakkan kaki di Eropa, dan memiliki impian untuk kembali ke negara asal saat konflik usai.
Saat ini, Turki memang menjadi salah satu pintu utama masuknya para migran dari Timur Tengah ke Eropa. Setelah melihat hal tersebut, UE pun melakukan kesepakatan dengan Turki.
Dana sebesar 3 miliar euro siap digelontorkan kepada negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan itu guna mencegah 2,2 juta migran asal Suriah yang kini telah berada di Turki masuk ke Eropa. "Dengan dana itu, pemerintah Turki diharapkan bisa membuat negaranya menjadi lebih menarik bagi para pengungsi," ujar perwakilan UE untuk Turki Hansjorg Haber ketika mengunjungi kamp pengungsi Osmaniye di Turki bagian selatan.
Selain itu, ia mengatakan keamanan perlu ditingkatkan untuk mencegah adanya perdagangan atau penyelundupan manusia dari Turki ke Eropa.
Pendidikan untuk pengungsi Dari 2,2 juta pengungsi yang ada di Turki, badan pengungsi PBB UNHCR mencatat, hanya 260 ribu yang bertahan di kamp pengungsian yang terletak di wilayah perbatasan. Sisanya tersebar di kota-kota besar seperti Istanbul dan Ankara.
"Kami tidak akan bisa bertahan hidup jika hanya bertahan di kamp. Kami harus bekerja di luar (kamp)," ujar Azimet Rusuz, 35, salah seorang pengungsi.
Para pengungsi di kamp-kamp pengungsian di Turki memang telah memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dan fasilitas kesehatan. Namun, banyak keluarga pengungsi mengandalkan kerabat laki-laki mereka yang bekerja di luar kamp. Banyak pengungsi muda bekerja sebagai buruh dengan upah rendah.
Pendidikan bagi para pengungsi juga menjadi salah satu tantangan utama di Turki. Pada September lalu, pemerintah Turki berjanji menambah jumlah pengungsi yang bisa bersekolah dari jumlah sekarang yang mencapai 230 ribu. "Itu rencana yang ambisius. Kami bekerja sama dengan kementerian pendidikan supaya target itu terealisasi," kata Philippe Duamelle, perwakilan Turki untuk organisasi PBB urusan anak-anak Unicef.
Meskipun pemerintah Turki telah memberikan pelayanan kemanusiaan seperti kesehatan dan pendidikan, biaya hidup masih terasa berat bagi para pengungsi yang tidak memiliki apa-apa. "Anak-anak tidak mengalami kesulitan dengan sekolah, tapi biaya lain seperti air dan listrik menjadi beban utama kami," ujar Maha Abdullah, 38, ibu yang tengah menunggu anaknya di sebuah pusat pelatihan bagi para migran. Abdullah toh memutuskan untuk bertahan di negara tersebut.
Sebagian besar pengungsi yang berada di kamp Osmaniye mengaku sedih sekaligus kesal saat mendengar begitu banyaknya saudara sebangsa mereka mempertaruhkan hidup untuk dapat sampai ke Eropa.
"Entah apa yang membuat mereka rela mati untuk ke sana. Saya sama sekali tidak menginginkannya karena tidak ada yang seindah kampung halaman sendiri," ujar pengungsi lain di Osmaniye, Ahlem Hanefi, 33.(AFP/I-1)