LELAKI berambut putih itu dikenal sebagai the scientist, sang ilmuwan. Ia merupakan salah satu pengungsi Suriah dan tiba di Amerika Serikat (AS), Kamis (17/12) lalu. Sang ilmuwan datang ke AS di tengah maraknya kontroversi larangan warga muslim ke negara tersebut. Namun, ia tiba di sana toh berkat dukungan warga 'Negeri Paman Sam' pula.
Pada dunia maya tempat julukannya merebak, nama asli sang ilmuwan tidak pernah disebut. Ia minta identitasnya ditulis saja dengan nama Abu Ammar. Demi alasan keamanan keluarganya di Suriah, kata dia. Abu Ammar punya cerita panjang nan menyedihkan sebelum akhirnya diterima di negara adidaya itu.
Abu Ammar lahir dalam keluarga sederhana dengan kedua orangtua yang bekerja sebagai petani. Namun, tekadnya yang kuat untuk mengubah nasib membawanya pada prestasi demi prestasi di sepanjang jenjang pendidikannya. Dia bergelar PhD dan bercita-cita menjadi ilmuwan hebat yang berkontribusi untuk kehidupan umat manusia.
Pada 6 April 2013, sebuah bom meledakkan rumahnya di Suriah. Istri dan satu dari lima anaknya tewas. Insinyur sipil etnik Kurdi itu sedang tidak berada di rumah saat itu. "Semuanya hancur. Yang tidak hancur pun hilang dijarah. Kami benar-benar tidak punya apa-apa saat itu," ujar Ammar.
Sejak itu, ia bersama empat anaknya meninggalkan Suriah dan menjadi pengungsi di Turki. "Kami memang selamat. Namun, secara psikologis, kami mati," tuturnya.
Selama dua tahun tinggal sebagai pengungsi di Turki, Ammar mengalami masa yang sulit. Tanpa izin tinggal, kendati memiliki gelar PhD, ia tidak bisa bekerja. "Saya tidak dihargai. Anak-anak saya tidak bisa sekolah. Kami tidak punya kehidupan di sana saat itu." Pada masa itu pula ia divonis mengidap kanker perut.
Toh sang ilmuwan tetaplah ilmuwan. Di Turki, Abu Ammar menciptakan beberapa penemuan seperti pembangkit listrik yang digerakkan laju kereta. Pria Suriah itu juga membuat rancangan pesawat yang bisa terbang selama 48 jam tanpa bahan bakar.
"Saya masih yakin saya mampu melakukan hal baik bagi dunia. Saya harap semua penemuan itu dapat dipatenkan. Saya cuma butuh tempat untuk mewujudkan," imbuh Ammar. Pengajuan izin untuk tinggal di AS pun dikabulkan. Ammar masuk ke AS.
Dua perang Kisah Abu Ammar dan julukan the scientist muncul di dalam blog dan akun Facebook Humans of New York (HONY). Komentar simpatik mengalir, termasuk dari Presiden AS Barack Obama. "Tentu saja Anda masih bisa membuat perbedaan bagi dunia. Kami bangga Anda mau mengejar impian di negara ini. Selamat datang di rumah baru. Anda bagian dari apa yang akan membuat Amerika Serikat hebat."
Kisah Abu Ammar pada HONY juga menggugah aktor Hollywood Edward Norton. Dia turun tangan menggalang dana hingga US$425 ribu untuk biaya pengobatan Abu Ammar di AS.
Abu Ammar juga bukan satu-satunya kisah pengungsi yang ditampilkan HONY. Satu kisah lainnya datang dari perempuan Irak bernama Aya Abdullah. Pada usia 14 tahun, Aya harus pergi dari negara asalnya karena perang memorak-porandakan wilayah tempat tinggalnya. Sejak itu, ia menjadi pengungsi di Suriah.
Sekali lagi, Aya harus dihadapkan pada perang lain yang memaksanya angkat kaki dari Suriah. Aya masih pengungsi, tapi kali ini di Turki. Di sana, ia mengaku mengalami banyak kesulitan karena penduduk lokal tidak menyukai para pengungsi. "Mereka menyalahkan kami karena tidak ada lapangan pekerjaan. Mereka menyalahkan kami akan semua hal yang salah," ujar Aya.
Kondisi itu memaksanya berjuang keras untuk pindah lagi ke negara lain yang dia harap bisa menghormatinya dan memberikan kehidupan yang lebih baik. Kali ini AS tujuannya.
Bersama adik dan ibunya, perempuan berusia 20 tahun itu mengisi dokumen untuk pindah ke 'Negeri Paman Sam'. Ia juga telah melalui proses wawancara. Setelah menunggu selama beberapa bulan, surat permohonannya dikabulkan.
Nyatanya, setelah sempat mendapatkan surat penerimaan, datang lagi surat revisi yang menyatakan permohonan kepindahannya ditolak. "Dikatakan karena alasan keamanan. Apa maksud mereka?" tanya Aya penuh rasa kesal dan tidak percaya. "Mereka tidak tahu keluarga kami. Kami keluarga baik-baik."
Berkat HONY pula, kisah Aya diketahui dunia. Sebuah petisi juga digagas untuk mendukung kepindahan Aya ke AS. "Kami percaya, Aya bukanlah sebuah ancaman. Kami percaya dia layak berada di sini," ujar Brandon Stanton, penggagas HONY.
Buka mata Dengan kisah the scientist dan Aya Abdullah, serta sederet kisah lain, juga akun Facebook HONY yang disukai hingga 16,4 juta pengguna, HONY bagaikan ajang pembuktian bahwa warga dunia masih punya rasa kemanusiaan.
Stanton, fotografer kelahiran 1984, penggagasnya, memulai kegiatan HONY pada musim panas 2010. Awalnya, ia hendak membuat katalog yang berisi foto-foto warga New York, AS, lengkap dengan kisah singkat mereka. Stanton lantas menggeser lensa kameranya. Dia bepergian ke Eropa lewat kerja sama dengan sejumlah lembaga, termasuk badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memotret sejumlah pengungsi lengkap dengan kisah mereka.
Lewat HONY, Stanton seolah membuka mata dunia bahwa sejatinya para pengungsi bukanlah ancaman. HONY juga menjadi ajang pengungkap harapan para pengungsi sekaligus pembangkit simpati kemanusiaan. Para pengikut di Facebook menuliskan berbagai komentar sebagai rasa hormat untuk HONY dan penggagasnya, Stanton.
'Kita semua manusia. Di planet ini, kita berbagi tempat untuk sesama', tulis Grace Chang, warga negara Kanada, di akun Facebook, menanggapi isu pengungsi dan muslim di AS.
Ada pula Jeffrey Randall, pengguna Facebook lain, mengatakan satu-satunya keinginan dia pada Natal kali ini ialah agar orang-orang seperti Aya Abdullah dapat memiliki tempat di AS.
Akun bernama Sarah Berry Carpenter di Walnut Creek, California, AS, berkomentar, "Terima kasih karena telah menghidupkan lagi rasa kemanusiaan dalam kehidupan kita. Anda menggugah hati banyak orang dengan cara yang luar biasa."(Nbcnews/Humans of New York/I-1)