Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Kisah Kematian dari Bana

(Thomas Harming Suwarta/I-3)
08/12/2016 04:30
Kisah Kematian dari Bana
(twitter)

"PESAN terakhir di bawah bombardir bom sekarang, kami tidak mampu hidup lagi. Ketika kami meninggal, teruslah berbicara untuk 200 ribu orang yang masih hidup. Selamat tinggal. Fatemah." Begitulah isi cuitan pada akun Twitter seorang anak perempuan berumur tujuh tahun di Aleppo, Bana al-Abed, pada 27 November malam. Cuitan di akun @AlabedBana pun cepat menyebar dan menuai simpati dari dunia internasional. Pesan yang ditulis oleh ibu Bana itu menyampaikan kepada dunia betapa pedih kehidupan keluarga mereka di tengah konflik yang tak kunjung usai sejak meletus pada Maret 2011.

Menjelang dini hari, giliran Bana sendiri yang menuliskan pesan di akun miliknya, "Malam ini kami tidak punya rumah, sudah dibom dan aku di reruntuhan. Aku melihat kematian dan aku hampir mati. Bana." Setidaknya sejak akhir September, cuitan Bana dan ibunya, Fatemah, telah menarik perhatian lebih dari 213 ribu yang kemudian mem-follow akun tersebut. "Selamat sore dari #Aleppo. Saya membaca dan melupakan perang," kata Bana kurang lebih dua pekan setelah serangan udara menghujani Aleppo.

Hal ini juga menjadi jawaban bagi para netizen yang khawatir mencari tahu kabarnya lewat tanda-pagar #WhereisBana setelah Bana tidak lagi muncul setelah cuitan 28 November itu. Bahkan kemarin Bana kembali menuliskan, "Halo teman-temanku, bagaimana kabarmu? Saya baik-baik saja...Aku merindukan kalian." Ternyata kini keluarga Bana sudah aman sejak mengungsi. "Tentara benar-benar dekat lingkungan kami. Kami melarikan diri ke bagian lain dari Aleppo timur dan keluarga kami baik-baik saja," kata Ghassan al-Abed, ayah Bana kepada AFP, Rabu (7/12).

Pesan dari Bana mengingatkan dunia akan anak-anak sebagai korban perang. Dalam perang Suriah, setidaknya 15 ribu anak-anak terdapat di antara 300 ribu korban tewas. Tak hanya itu ribuan anak-anak juga hidup di bawah pengepungan yang membuat mereka tertekan bahkan hidup berkesusahan tanpa akses terhadap makanan atau obat-obatan. Jutaan anak meninggalkan rumah mereka sebagai pengungsi.

Pada 2011, saat pemberontakan rakyat terhadap Presiden Bashar al-Assad memasuki bulan kedua, seorang anak berusia 13 tahun, Hamza al-Khatib ditahan dan disiksa sampai mati oleh pasukan keamanan Suriah. Dia menjadi simbol paling awal dari represi brutal rezim Assad terhadap demonstrasi yang memicu konflik hingga hari ini.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya