KRISIS politik global kian memanas di sejumlah belahan dunia. Konflik bersenjata dan kekerasan telah menyebabkan ribuan orang meninggal dan mendorong arus pengungsi ke negara sekitarnya. Dialog dan pembicaraan damai tak bisa dijadikan satu-satunya solusi. Salah satu upaya lain untuk mengatasi konflik ialah kehadiran pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kini, keterlibatan pasukan dengan ciri khas helm biru itu telah menjadi kebutuhan mendesak untuk menekan dan meredam konflik yang lebih luas.
Pada pertemuan puncak Majelis Umum PBB, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengatakan lebih dari 50 negara berjanji bergabung ke dalam pasukan perdamaian PBB, dengan kontribusi pasukan hingga 40 ribu personel dari unsur militer dan polisi. Presiden Tiongkok Xi Jinping mengatakan negaranya siap membentuk dan mengirimkan 8.000 personel pasukan terlatih untuk mendukung misi perdamaian PBB. Beijing juga menawarkan dana US$100 juta untuk mendanai skema yang sama di bawah Uni Afrika.
Selain Tiongkok, Inggris berkomitmen mengirim 250 sampai 300 tentara untuk misi PBB di Sudan Selatan. Kolombia pun menyatakan akan mengerahkan 5.000 personel militer mereka untuk memperkuat pasukan perdamaian PBB. Pengumuman kontribusi lainnya termasuk drone (pesawat nirawak) dan unit komunikasi sinyal datang dari Pakistan, satu batalion infanteri dan helikopter dari Italia. Dukungan teknik atau personel juga berdatangan dari Sri Lanka, Jepang, Korea Selatan, Armenia, Fiji, Brasil, Turki, Jerman, dan Australia. Salah satu pemain kunci dalam perdamaian di Afrika, Rwanda, menawarkan dua helikopter serang, dua rumah sakit lapangan, unit polisi perempuan, dan 1.600 tentara baru.
Bangladesh, Ethiopia, India, Pakistan, dan Rwanda saat ini merupakan lima negara utama pemasok pasukan untuk misi perdamaian. Kehadiran pasukan perdamaian PBB ibarat dua mata koin. Di satu sisi, mereka sangat membantu dalam meredam konflik yang menelan banyak korban. Namun, di sisi lain, mereka juga bagian dari masalah, termasuk melakukan pelanggaran hukum seperti terlibat skandal pelecehan seksual di wilayah tempat mereka ditugasi. Obama mengatakan kerja pasukan perdamaian semakin kompleks seiring dengan meningkatnya gerakan kelompok bersenjata.
Operasional kerap tidak memadai dan efektif karena pasukan perdamaian selama ini masih dilanda masalah kekurangan perangkat keras pendukung dan diguncang skandal asusila. "Secara sederhana, pasokan pasukan penjaga perdamaian terlatih dengan perlengkapan memadai belum memenuhi permintaan," ujar Obama kepada delegasi selama serangkaian pertemuan di Majelis Umum PBB di New York, AS. Ia menambahkan, "Pasukan penjaga perdamaian menghadapi masalah konflik yang lebih sulit dan mematikan. Mereka diberi mandat ambisius dan berkaitan dengan misi yang semakin berbahaya dan kompleks." Obama menyatakan Washington akan bekerja untuk menggandakan jumlah perwira militer AS yang berfungsi sebagai penjaga perdamaian. Selain itu, AS menawarkan dukungan logistik serta kapasitas untuk melakukan pengangkutan udara dan laut.
Peran Indonesia Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, mengatakan Indonesia akan menambah pasukan penjaga perdamaian hingga 4.000 personel sampai 2019 mengingat semakin meluasnya konflik di dunia. Kalla didampingi Menlu Retno Marsudi dan Wakil Tetap RI untuk PBB Desca Percaya menghadiri sidang ke-70 Majelis Umum PBB. "Sekali lagi, Indonesia menjanjikan akan menambah pasukan, peralatan, dan sebagainya. Targetnya sampai 2019 bisa kirim 4.000 personel, kalau sekarang baru 2.700 personel," kata Kalla di Markas Besar PBB di New York.
Wapres menjelaskan sejak awal Indonesia selalu aktif dalam misi perdamaian dunia dan selalu mengirimkan pasukan penjaga perdamaian. "Indonesia sejak 1957 sudah mengirimkan pasukan dan terus tanpa henti hingga sekarang ini. Jadi, sudah 58 tahun jika dibandingkan dengan Tiongkok yang baru ikut 30 tahun terakhir," kata Wapres. Karena itu, menurutnya, Indonesia memiliki pengalaman yang panjang terkait dengan keikutsertaan dalam pasukan penjaga perdamaian.
Meningkatkan optimisme Pakar pasukan penjaga perdamaian, Richard Gowan, yang aktif di lembaga think tank European Council on Foreign Relations, memandang dukungan dan kesiapan puluhan negara itu untuk mengirim pasukan terlatih dan peralatan akan menyokong kekurangan yang selama ini dihadapi secara signifikan. "Kesanggupan (negara-negara) tersebut menjadi sumber optimisme untuk operasi PBB yang telah berjuang di titik-titik panas seperti Mali dan Sudan," ungkapnya.
PBB tidak memiliki tentara tetap dan itu berarti ke-193 negara anggotanya memasok sumber daya manusia dan peralatan untuk melindungi warga sipil dan menjaga perdamaian di 16 wilayah operasi yang tersebar dengan luas medan 11 juta kilometer persegi. Operasi pengamanan perdamaian telah menjamur dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2000, jumlah personel militer dan polisi yang dikerahkan telah meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 34 ribu ke 106 ribu personel.
"Pasukan penjaga perdamaian PBB menjaga 200 ribu warga sipil dalam misi di Sudan Selatan. PBB tidak pernah dirancang untuk menangani tingkat pengungsi sebesar itu," kata Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon kepada para delegasi. "Kami sedang memantau perjanjian perdamaian yang rapuh di Mali dan bekerja untuk mencegah wabah kekerasan lain yang meluas di Republik Afrika Tengah," tambahnya. Operasi pasukan penjaga perdamaian tidak lepas dari skandal.
Di Haiti, pasukan helm biru Nepal disebut sebagai pihak yang membawa wabah kolera ke negara itu, yang menewaskan lebih dari 8.000 orang dan menyebabkan 700 ribu lainnya sakit. Skandal yang lebih parah ialah klaim bahwa pasukan penjaga perdamaian PBB memerkosa perempuan dan anak di Republik Afrika Tengah. Itu merupakan kasus terbaru yang menyeret pasukan penjaga perdamaian yang berujung pada pengunduran diri kepala misi penjaga perdamaian untuk negara tersebut.