TIN... tin... tin.... Itulah suasana yang bisa saya gambarkan pertama kali saat menginjakkan kaki di Bangalore, India. Suara nyaring klakson kendaraan itu bahkan langsung mengemuka begitu kaki berada di pintu keluar Bandara Internasional Kempegowda. Para pengendara, baik roda dua maupun roda empat, di kota itu memang tak sungkan-sungkan membunyikan klakson secara terus-menerus jika jalur mereka dihalangi kendaraan lain atau sedang terburu-buru. Media Indonesia berkesempatan untuk berkunjung ke kota terbesar nomor tiga di India itu dalam undangan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk meliput acara Pacific Asia Travel Association (PATA) Travel Mart di Kota Bangalore pada 6 hingga 9 September 2015.
Tidak banyak pemandangan yang bisa saya lihat ketika pertama kali mendarat di kota yang berjarak 3.865 kilometer dari Jakarta itu. Maklum, waktu tiba saya sudah cukup malam, sekitar pukul 22.00 waktu setempat. Oleh karenanya, saya hanya bisa sesekali mengabadikan foto Bandara Kempegowda yang lumayan megah itu. Setelah memasukkan beberapa koper yang dibawa, saya bersama dengan rombongan pun segera bergegas masuk bus untuk menuju hotel di pusat kota. Menurut informasi, jarak tempuh bandara menuju Hotel Vivanta yang akan saya tempati selama tiga malam ke depan ialah sekitar 1 jam.
Namun, kenyataannya, setelah saya terbang sekitar 5 jam lamanya, suasana yang tidak berbeda jauh dengan Jakarta saya rasakan selama perjalanan. Kota yang disebut sebagai kota teknologi alias Silicon Valley itu juga dirundung macet dan banjir. Ya, malam itu seluruh Kota Bangalore sedang diguyur hujan cukup lebat.
Sosok modern di pusat kota Kotor, kumuh, dan padat. Itulah pemikiran saya yang hanya 'pernah' melihat India dari televisi serta kabar dari mulut ke mulut. Namun, beberapa bayangan itu rupanya harus dikoreksi. Untuk beberapa radius kilometer dari pusat kota, suasana kotor dan padat memang jelas terlihat, apalagi lalu lintasnya yang macet. Namun, setibanya di pusat kota, sebutan salah satu kota tebersih di India pun mulai saya rasakan. Jalanan di pusat kota memang lebih bersih ketimbang di pinggiran.
Pohon-pohon berukuran besar yang sudah berumur ratusan tahun pun memenuhi sudut kota sehingga Bangalore pun mendapat sebutan sebagai 'Garden City'. Sosok sebagai Silicon Valley yang disandang ibu kota Negara Bagian Karnataka itu mulai mengemuka. "Yang kita harus contoh dari kota ini ialah orang-orangnya yang rajin dan pintar. Tak pandang itu tua atau muda, semuanya mau bekerja dengan keahlian mereka masing-masing. Jadi, jangan heran jika banyak sekali perusahaan IT dunia yang berkantor di sini," ungkap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Arief Yahya yang juga ikut dalam rombongan.
Kota Bangalore memang sudah terkenal sebagai pusat IT di Asia, bahkan dunia. Berbagai macam perusahaan IT dunia seperti Google dan Yahoo membuka kantor di sini. Setelah melihat kemajuan pesat kota tersebut, Arief berharap Indonesia bisa mencontoh pencapaian Bangalore. Sebagai salah satu perbandingan, mantan Direktur PT Telkom itu melihat potensi Kota Bandung untuk menjadi Silicon Valley di Indonesia. "Saya pikir Kota Bandung yang sudah bergerak menuju arah sana. Setahu saya, Pak Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung) sudah membuat kotanya sebagai kota berbasis pengembangan teknologi. Saya berharap terobosan itu diteruskan," jelas Arief.
Namun, sayang, berhubung saya tidak memiliki waktu yang banyak, kami bersama rombongan pun tidak bisa mengunjungi atau bahkan sekadar melihat kantor-kantor IT dunia yang berada di kota tersebut. Rombongan pun hanya bisa berkeliling di sekitaran pusat kota yang tidak jauh dari lokasi hotel.
Gedung parlemen bak istana Pada akhirnya, saya bersama dengan rombongan menteri pun dibawa keliling pusat kota, salah satunya ialah mengunjungi Vidhana Soudha (Legislative House of the State of Karnataka), seperti Gedung MPR/DPR yang ada di Jakarta. Namun, sekali lagi, karena tidak memiliki kepentingan dan keperluan, kami hanya diperbolehkan masuk berkeliling di halaman gedung megah yang mirip istana di Eropa itu. Beruntung, saat itu kami diberi kesempatan untuk berhenti tepat di depan pintu masuk gedung yang memiliki fondasi megah di tampak depannya.
Kami pun dipersilakan untuk turun dan mengambil beberapa foto untuk dijadikan kenangan. "Silakan turun dan berfoto-foto," ucap salah satu pemandu. Setelah beberapa menit mengambil gambar dan foto berlatarkan belakang gedung tersebut, kami pun bergegas kembali ke dalam mobil untuk menyambangi tempat wisata lainnya, mengingat waktu yang kami miliki pun sangat terbatas. Serbauang di Istana Bangalore Objek wisata lain yang saya kunjungi ialah Bangalore Palace. Menurut informasi dari orang hotel, tempat tersebut merupakan salah satu objek wisata penuh sejarah dari negara India yang wajib dikunjungi selama berada di kota tersebut. Perjalanan ke Bangalore Palace tidak begitu jauh, tepatnya sekitar 30 menit dari hotel. Setibanya di lokasi, bus yang mengantarkan kami pun berhenti di sebelah barat dari bangunan yang terlihat megah dari kejauhan sekitar 100 meter dari tempat parkir.
Layaknya seorang turis, saya pun bergegas mengeluarkan kamera pribadi untuk langsung mengabadikan bangunan yang katanya banyak memiliki sejarah itu. Namun, saat itulah ada beberapa kejadian yang tidak mengenakkan terjadi pada saya dan rombongan lain. Seketika kami mengambil gambar, mendadak dua petugas keamanan yang menggunakan setelan seragam layaknya polisi sembari menenteng senapan laras panjang menghampiri kami. "No picture. No picture, please."
Kami pun dibuat bingung karena merasa baru pertama kali ada aturan berkunjung ke tempat wisata, tetapi tidak boleh mengambil foto. Akhirnya, setelah bertanya mengapa tidak boleh mengambil foto, dua pria berkumis itu mengatakan kami harus ke loket dan membeli tiket terlebih dahulu baru boleh mengambil gambar. Kejadian tidak mengenakkan lagi terjadi ketika kami mendatangi loket yang ada di pintu pertama dari istana itu. Suasana gelap dan sedikit tidak terawat menjadi pemandangan di loket tersebut.
Hanya ada satu wanita setengah baya yang duduk di loket tersebut sembari menunjukkan biaya masuk tanpa memberikan senyum kepada para pengunjung. Untuk biaya masuk satu turis asing, tertulis harga 460 rupee yang nantinya akan diberikan sebuah audio guide dalam pilihan berbagai bahasa. Tak sampai di situ, jika ingin mengambil foto, turis akan dikenai biaya tambahan sebesar 285 rupee untuk kamera ponsel, 1.430 rupee untuk video kamera, dan 685 rupee untuk kamera DSLR. Tentu harga yang lumayan mahal untuk sebuah objek wisata.
Dinasti dan aturan kamera Baiklah, kita lupakan masalah harga dan bergegas untuk masuk ke objek wisata yang katanya berisikan berbagai sejarah pada saat kejayaan Dinasti Wadiyor dahulu kala. Di dalam istana tersebut, kita akan menyaksikan berbagai macam ruangan, lukisan, dan perabotan yang dulunya digunakan pada masa tersebut yang diberikan beberapa nomor untuk disesuaikan pada audio guide yang sudah kita pegang.
Ada juga foto-foto dan lukisan tentang perburuan harimau dan gajah kala itu. Terdapat juga kursi-kursi yang terbuat dari kaki gajah yang juga dipamerkan dalam istana tersebut. Namun, lagi-lagi, ada sesuatu hal yang tidak membuat nyaman berkeliling di tempat ini, yakni petugas yang kerap mengawasi para turis bak penjahat untuk tidak menyalahi aturan mengenai penggunaan kamera.
Dalam istana tersebut juga dijelaskan bagaimana kehidupan sebanyak 25 maharaja Dinasti Wadiyor yang dituangkan dalam berbagai foto dan lukisan yang terpajang di sisi-sisi tembok istana itu. Alhasil, karena suasana yang kurang mengenakkan di lokasi tersebut, setelah sekitar 45 menit, kami menyelesaikan seluruh rute yang ada di istana tersebut.