Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Tiongkok Hindari Topik Sensitif

Thomas Harming Suwarta
03/9/2016 11:04
Tiongkok Hindari Topik Sensitif
(AP/Lintao Zhang)

TIONGKOK sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G-20 mengangkat peran mereka sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia dan kekuatan mereka yang sedang tumbuh dalam percaturan diplomasi internasional.

Namun, Tiongkok juga sedang disorot dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan dan perselisih­an dengan kekuatan regional lain di kawasan, seperti Korea Selatan dan Jepang.

Tiongkok berharap, pada pertemuan kali ini, topik-topik sensitif termasuk soal ketegangan di Laut China Selatan tidak menjadi bahan pembicaraan. Bagi ‘Negeri Mao Zedong’ itu, topik-topik sensitif tidak perlu dibicarakan karena akan sangat terkait dengan pencitraan mereka.

Tiongkok saat ini sedang berupaya membangun citra positif di mata internasional sebagai bangsa besar yang sangat penting untuk memecahkan masalah-masalah di dunia.

Tiongkok akan berusaha untuk mempromosikan citra mereka sebagai kekuatan baru demi mengatasi masalah perubahan iklim sebagai promotor pembangunan di Asia melalui One-Belt, One-Road dan Asian Infrastructure Investment Bank serta sebagai pemenang pasar bebas global di tengah bangkitnya nasionalisme ekonomi di Eropa dan negara-negara lain.

“Tujuan utama Tiongkok bagaimana membangkitkan ekonomi, bukan tentang politik,” kata Jonathan Holslag, profesor politik internasional, di Free University of Brussels.

Hal tersebut juga ditekankan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hua Chunying, kepada wartawan. Intinya, para pejabat Tiongkok berulang kali menekankan keinginan mereka untuk menghindari isu-isu kontroversial dan tetap berfokus pada persoalan ekonomi yang menjadi inti pertemuan.

“Dalam negeri Tiongkok sangat berharap agar pertemuan ini sukses dan bermanfaat untuk menyuntikkan lebih banyak dorongan dan ide-ide positif untuk pertumbuhan ekonomi global,” kata dia.

Tidak mengakui
Laut China Selatan, bagaimana­pun, telah menjadi isu yang sangat sensitif, terutama pascakeputusan arbitrase internasional di Den Haag, Belanda, Juni lalu.

Keputusan tersebut menerima gugat­an Filipina yang memperta­nyakan klaim Tiongkok terhadap 90% wilayah perairan Laut China Selatan. Tiongkok marah dan tidak pernah mengakui keputusan itu.

Ketegangan hubungan ‘Negeri Tirai Bambu’ dengan Jepang terus meningkat karena klaim Tiongkok atas Pulau di Laut China Timur yang dikuasai Tokyo. Selain itu, kemesraan Tiongkok dan Korea Selatan juga berakhir lantaran Seoul menggelar sistem pertahanan rudal AS sebagai antisipasi ancaman dari sekutu Tiongkok, Korea Utara.

Yu Maochun, pakar politik Tiong­kok di US Naval Academy, mengata­kan Tiongkok berharap KTT akan menawarkan kesempatan untuk menemukan cara melepaskan diri dari sorotan dunia internasional dan pada saat yang sama menampilkan diri mereka sebagai negara modern, makmur, percaya diri, dan tentu saja sebagai tuan rumah yang ramah.

Menurut dia, Tiongkok tengah berusaha menghidupkan kembali era emas dalam hubungan mereka dengan Inggris pascakeluarnya Inggris dari Uni Eropa dan pergantian David Cameron oleh Theresa May sebagai perdana menteri Inggris.

KTT juga akan menjadi batu loncatan bagi hubungan Presiden AS Barack Obama dan Xi Jinping. Konsep Xi yang agak kabur terkait dengan jenis hubungan baru antarnegara maju dengan Amerika telah menjadi fitur utama dari kebijakan luar negeri mereka.

Namun, mereka memperoleh sedikit persoalan di Washington karena persoalan di Laut China Selatan dan masalah lainnya.

Tiongkok juga berharap pertemuan puncak di Hangzhou kali ini sukses meredam kritik dari ‘Negeri Paman Sam’ dan Uni Eropa atas tindakan pemerintah membungkam para pekerja hak asasi manusia independen dan kritikus pemerintah. (AP/I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya