Headline
Istana minta Polri jaga situasi kondusif.
RATUSAN perwakilan kelompok etnik berkumpul di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, untuk mengikuti perundingan damai bersejarah dengan pemerintah, Rabu (31/8). Perundingan itu merupakan upaya untuk mengakhiri konflik yang sudah merenggut ribuan nyawa dan membuat negara tersebut berada dalam kemiskinan. Ruang konferensi besar di Naypyidaw dipenuhi lautan warna dari delegasi kelompok etnik yang berbaur dengan para perwira militer berwajah kaku dalam balutan perangkat militer lengkap. Perundingan dihadiri Aung San Suu Kyi selaku penasihat negara, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon dan Jenderal Min Aung Hlaing.
Pertemuan tersebut merupakan upaya aktivis veteran Aung San Suu Kyi untuk membentuk kembali Myanmar sebagai negara demokrasi setelah beberapa dekade berada di bawah kekuasaan pemerintahan militer. Peraih Hadiah Nobel yang diangkat sebagai penasihat negara pada Maret lalu itu menjadikan upaya menjembatani hubungan dengan kelompok etnik yang retak sejak Myanmar merdeka dari Inggris pada 1948 sebagai prioritas pemerintahannya. “Selama kita tidak dapat mencapai rekonsiliasi nasional dan persatuan nasional. Kita tidak akan pernah mampu membangun serikat damai yang berkelanjutan dan tahan lama,” ujar Suu Kyi kepada delegasi.
“Hanya jika kita semua bersatu, negara kita akan damai. Hanya jika negara kita damai, kita akan bisa berdiri sejajar dengan negara lain di kawasan dan seluruh dunia,” tambahnya. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon yang juga hadir dalam pembicaraan itu menyebut pertemuan tersebut merupakan momen bersejarah bagi Myanmar seiring dengan transisi menuju demokrasi. “Perang sipil dalam waktu lama telah membuat banyak nyawa melayang dan merebut martabat, ketenangan, dan kondisi normal dari generasi-generasi penerus,” ujar Ban dalam pidatonya. “Sekarang jelas bahwa solusi militer tidak cocok untuk perbedaan kalian,” tambahnya. Banyak pihak berharap perjanjian konkret akan tercapai dari pertemuan yang akan berlangsung selama lima hari itu dan akan memulai proses perdamaian yang memakan waktu tahunan.
Terjebak pertempuran
Sebanyak 17 kelompok dari 20 kelompok pemberontak bergabung dalam pertemuan di ibu kota Myanmar tersebut. Namun, kelompok lainnya masih belum bersedia bergabung dan masih terjebak dalam pertempuran dengan militer Myanmar. Jenderal Min Aung Hlaing mendesak kelompok-kelompok etnik untuk bergabung dengan gencatan senjata militer dukungan pemerintah yang telah ditandatangani dengan delapan kelompok pada tahun lalu. “Kita perlu mengakhiri arus tragis ini,” ujar Aung Hlaing.
“Jika proses perdamaian membutuhkan waktu lebih lama daripada waktu yang ditentukan, mungkin akan ada lebih banyak hasutan, gangguan, dan manipulasi dari luar yang akan mengganggu proses,” tambahnya. Khua Uk Lian dari kelompok Chin National Front yang melakukan gencatan senjata dengan militer optimistis dengan pertemuan itu. Namun, ia mengingatkan pertempuran akan sulit dihentikan di lapangan. “Kami memiliki komandan lokal yang bertarung tentang masalah lokal, selalu seperti ini sejak kami bertarung,” ujar Khua. Harapan akan gencatan senjata di Myanmar itu juga harus terganggu karena kekerasan baru terjadi di sebelah utara negara tersebut sebelum pertemuan berlangsung. Masyarakat di daerah konflik umumnya hidup dalam kemiskinan meski hutan tempat mereka berada dan kebanyakan daerah pertempuran kaya akan kayu jati, batu giok, dan timah. (AFP/AP/I-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved