Sengketa yang tidak Kunjung Padam

19/7/2016 04:00
Sengketa yang tidak Kunjung Padam
(AP)

TIONGKOK kini tengah dilema karena harus mengambil sikap pascaputusan Pengadilan Arbitrase Permanent (Permanent Court of Arbitration/PCA) yang menolak klaim mereka atas sembilan garis putus-putus (nine-dash line) di Laut China Selatan (LCS) yang digelar di Den Haag, Belanda, Selasa (12/7).

Mereka bisa saja mengekspresikan kemarahan dengan menambah reklamasi dan memiliterisasi pulau di kawasan itu yang berisiko menimbulkan konfrontasi dengan sejumlah negara pengklaim dari Asia Tenggara, bahkan Amerika Serikat (AS).

Pilihan kedua, Tiongkok bisa juga menunda program mereka dan mengambil pendekatan damai. Namun, mereka harus kehilangan muka, baik di hadapan negeri sendiri maupun global.

Putusan PCA, terkait dengan LCS yang melibatkan Filipina, merupakan kasus pertama yang dilaporkan ke pengadilan internasional.

Kasus tersebut pertama kali diajukan Filipina pada 2013 setelah Tiongkok menyatakan memegang kendali atas Scarborough Shoal yang terletak di 220 mil barat laut Manila, Filipina.

Filipina yang memiliki kesepakatan pertahanan dengan AS meminta pengadilan mengumumkan 'hak historis' yang diklaim Tiongkok di kawasan itu hanya sah jika berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Selain itu, Filipina juga meminta pengadilan mengeluarkan putusan atas sejumlah aksi Tiongkok, termasuk konstruksi skala besar di area terumbu karang.

Suara pengadilan ternyata senada dengan Filipina.

Klaim Tiongkok atas sembilan garis putus-putus tidak berdasarkan hukum internasional. 'Tidak ada dasar hukum untuk Tiongkok mengklaim hak-hak sejarah atas sumber daya alam di area laut di dalam sembilan garis putus', tulis kelima hakim pengadilan dalam putusan setebal 501 halaman itu.

Majelis arbitrase itu terdiri atas Thomas A Mensah dari Ghana sebagai ketua, Jean-Pierre Cot dari Prancis, Stanislaw Pawlak dari Polandia, Alfred HA Soons dari Belanda, dan Rudiger Wolfrum dari Jerman.

Putusan menyebut hak-hak tersebut tidak sesuai dengan The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) alias konvensi hukum laut internasional.

PCA juga menilai Tiongkok telah melanggar kedaulatan Filipina dengan melakukan aktivitas penangkapan ikan di dalam area 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Hal itu dinilai meningkatkan risiko tabrakan kapal di area tersebut.

PCA juga mengatakan kegiatan reklamasi Tiongkok mengancam keselamatan lingkungan.

Namun, Tiongkok menolak putusan itu. Di sisi lain, mereka harus siap jika nantinya negara pengklaim lainnya mengambil tindakan serupa.

Seperti mengulang hal yang sama, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menjelaskan bahwa aktivitas rakyat Tiongkok yang disebut traditional fishing ground sudah berlangsung sejak 2.000 tahun lalu.

Tiongkok merupakan pihak pertama yang menemukan, memberikan nama, dan mengeksplor Laut China Selatan (Nanhai Zhudao).

Pada rilis yang diterbitkan Kemenlu Tiongkok, mereka menegaskan pada akhir Perang Dunia II menarik balik kedaulatan Laut China Selatan dari tangan Jepang.

Untuk memperkuat kepemilikan atas kawasan itu, pemerintah Tiongkok pada 1947 memperbarui peta dan nama geografis Nanhai Zhudao.

Peta tersebut dipublikasikan pemerintah Tiongkok pada Februari 1948.

Sejak saat itu, serangkaian instrumen hukum yang menegaskan kepemilikan Tiongkok atas Laut China Selatan diterbitkan, seperti Declaration of Government of the People's Republic of China on China's Territorial Sea pada 1958 dan Law of People's Republic of China on the Territorial Sea and the Contiguous Zone pada 1992.

"Tiongkok selalu dengan keras menentang invasi dan okupasi ilegal oleh negara-negara tertentu terhadap sejumlah pulau dan terumbu karang di Laut China selatan. Tiongkok selalu siap melanjutkan mencari jalan keluar sengketa dengan jalan negosiasi dan konsultasi secara langsung dengan negara-negara yang terlibat," demikian lanjut rilis yang diterbitkan Kemenlu Tiongkok.

Di sisi lain, dalam masa awal kampanyenya, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyatakan dirinya ingin memperbaiki hubungan dengan Tiongkok karena banyaknya proyek infrastruktur di kampung halamannya, Mindanao, yang melibatkan Tiongkok.

Namun, Duterte berubah pikiran dan justru akan mengendarai sepeda motor laut menuju Scarborough Shoal untuk menancapkan bendera Filipina.

Tidak punya wewenang

Meski putusan PCA mengikat secara hukum, lembaga itu tidak memiliki kewenangan untuk memaksa putusan terhadap Tiongkok.

Sejak didirikan pada 1898, PCA merupakan institusi yudisial internasional tertua dengan 117

negara anggota. Namun, Tiongkok beranggapan hasil putusan pada Selasa lalu tidak mencerminkan keberagaman sistem hukum dunia.

Komentar masyarakat menjamur melalui Weibo, situs media sosial di Tiongkok, dengan tanda pagar #SouthChinaSeaArbitration, dan masalah itu menjadi isu terpanas.

Salah satu pengguna aplikasi, Li Dacan, mengatakan, "Pengadilan tidak penting. Arbitrase yang hanya disetujui satu pihak tidak lebih dari sekadar tisu toilet. Ini tanah saya. Kenapa harus saya biarkan orang lain yang memutuskan apa yang jadi milik saya?"

Karena PCA tidak memiliki kewenangan memaksa, umumnya pihak yang memenangi sengketa akan terus melanjutkan klaim di ranah domestik. Namun, upaya itu kerap tidak membuahkan hasil. (AFP/The Economist/CNBC/Aya/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya