Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
PADA Rabu (13/7) lalu, sejumlah kapal perang milik Taiwan bergerak menuju Laut China Selatan (LCS).
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen bahkan ikut mengumpulkan pasukannya di salah satu geladak kapal.
Dalam pidatonya dia menyerukan Taiwan akan mempertahankan hak-hak teritorium kelautan mereka di kawasan itu.
Aksi negeri di Kepulauan Formosa itu, sebutan Taiwan, dilakukan sehari setelah pengadilan Arbitrase Permanen PBB (PCA) menolak klaim sejarah Tiongkok di perairan itu dan juga klaim Taiwan terhadap pulau-pulau di sana.
Putusan arbitrase itu berdampak negatif bagi Taiwan yang menguasai Pulau Taiping, pulau terbesar di Spratly.
Sengketa teritorial dan yurisdiksi di Laut China Selatan (LCS) terus mempertegang hubungan antara Tiongkok dan negara-negara lain di Asia Tenggara dan Timur serta meningkatkan risiko bentrokan militer di kawasan.
Kawasan itu sangat strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan kaya akan sumber daya alam. Tak mengherankan jika kawasan itu menjadi rebutan.
Konflik klaim maritim dan saling tikam di LCS melibatkan enam negara, yaitu Tiongkok yang berhadapan dengan Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina.
Kehadiran Amerika Serikat (AS) yang mengampanyekan kebebasan navigasi di LCS semakin meningkatkan potensi konflik di kawasan.
Dalam sengketa ini, Washington secara terbuka mendukung kepentingan sekutu mereka, Filipina.
"Dari sekian banyak kontingensi yang mungkin melibatkan bentrokan bersenjata di Laut Cina Selatan, ada tiga yang paling mengancam kepentingan AS dan berpotensi mendorong AS untuk menggunakan kekuatan mereka," kata Bonnie S Glaser, Senior Advisor for Asia di Center for Strategic and International Studies (CSIS), dalam analisisnya di Council on Foreign Relations.
Klaim wilayah
Beijing mengklaim sebagian besar wilayah LCS. Bahkan, kebijakan sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang tertera di peta mereka ikut 'menyerobot' Perairan Natuna, wilayah Indonesia yang sah di bawah hukum laut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Sementara itu, negara-negara nonpenuntut atau pengaku menginginkan LCS tetap sebagai perairan internasional.
AS, yang gencar menanamkan pengaruh di Asia Pasifik, melakukan operasi kebebasan navigasi di LCS yang semakin memantik gesekan dengan Beijing.
Sengketa di LCS bermula ketika pada 1947, yaitu pemerintah Kuomintang Republik Tiongkok (kini Taiwan) membuat peta dengan tujuh garis putus-putus yang mengklaim sebagian besar wilayah itu.
Partai Komunis yang berhasil mengusir Kuomintang dalam perang saudara mengambil alih kekuasaan di daratan Tiongkok pada 1949 dan membentuk Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Pemerintah Komunis kemudian merevisi tujuh garis putus-putus menjadi sembilan garis putus-putus di peta resmi mereka pada 1953, seperti yang dikuasakan Zhou Enlai, perdana menteri pertama RRT.
Sembilan garis putus-putus itu meliputi wilayah-wilayah yang disengketakan dengan negara lain, seperti Kepulauan Spratly dan Paracel yang diklaim Malaysia, Filipina, dan sejumlah negara lain, dan Scarborough Reef yang disengketakan dengan Filipina.
Tiongkok berupaya mematenkan LCS sebagai teritorial mereka pada 2009 dengan mengajukan peta sembilan garis putus-putus ke PBB.
Pengajuan yang ditentang Vietnam dan Malaysia dan diikuti protes dari Filipina serta Indonesia itu ditolak PBB karena Beijing tidak bisa menjelaskan klaim itu dengan dasar hukum yang valid.
Saling tikam terus berlanjut antara Tiongkok dan beberapa negara ASEAN di LCS, bahkan sampai memakan korban jiwa.
Pada 1974, Tiongkok merebut Paracel dari Vietnam dan menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam.
Pada 1999, militer Filipina menyiagakan Kapal Sierra Madre di Ayungin Atoll.
Sejak saat itu, serdadu Filipina berjaga-jaga di sekitar kapal.
Langkah itu merupakan upaya Filipina untuk menjauhkan Beijing dari pulau yang diklaim Manila.
Keputusan arbitrase
Dalam beberapa tahun terakhir, citra satelit telah menunjukkan peningkatan upaya Tiongkok untuk merebut kembali daratan di LCS dengan meningkatkan ukuran pulau atau menciptakan pulau yang sama sekali baru di sana.
Selain menumpuk pasir ke terumbu karang yang ada, Beijing telah membangun pelabuhan, instalasi militer, dan lapangan terbang, khususnya di Kepulauan Spratly.
Agresivitas Tiongkok di LCS membuat gerah berbagai pihak di kawasan. Pada Januari 2013, Manila mengatakan akan menuntut Beijing dengan membawa sengketa LCS ke pengadilan PBB di bawah naungan UNCLOS untuk menantang klaim 'Negeri Panda' itu.
Pada Februari 2015, Filipina kembali melayangkan nota diplomatik yang memprotes Tiongkok.
Musababnya ialah Beijing yang membangun pangkalan di Mischief-Riff yang cuma terpaut jarak 135 kilometer dari Pulau Palawan milik Filipina.
Pada Selasa (12/7) lalu, Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda, mengeluarkan putusan yang menolak klaim Tiongkok terhadap hak-hak ekonomi di sebagian besar wilayah LCS.
"Tidak ada dasar hukum bagi Tiongkok untuk menuntut hak-hak bersejarah untuk sumber daya dalam wilayah laut yang termasuk dalam 'sembilan garis putus-putus'," kata mahkamah dalam putusan seperti dilaporkan Deutsche Welle.
PCA menyebut 'Negeri Tirai Bambu' telah memperburuk sengketa regional dengan reklamasi lahan dan pembangunan pulau buatan yang menghancurkan terumbu karang dan kondisi alam di kawasan sengketa.
Pemerintah Manila sebagai pihak yang mengajukan gugatan ke mahkamah menyatakan 'menghargai' putusan itu dan meminta semua pihak menahan diri dan menjaga ketenangan di LCS.
"Kami berseru kepada semua pihak yang bersangkutan untuk menahan diri dan tenang. Filipina setegas-tegasnya memberikan penghormatan terhadap keputusan bersejarah ini," ujar Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Rivas Yasay Jr.
Namun, Beijing bereaksi keras dengan menolak menaati putusan itu. Tiongkok bahkan memperingatkan komunitas internasional untuk tidak ikut mengakui putusan PCA dan mencampuri sengketa LCS.
"Keputusan (PCA) itu tidak valid tanpa kekuatan mengikat dan akan tidak memengaruhi kedaulatan dan hak maritim dan kepentingan teritorial kami," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Lu Kang, seperti dilansir di situs resmi kementerian.
"Saya juga ingin menekankan bahwa jika ada yang berani menantang kepentingan Tiongkok, kami pasti akan bereaksi," tambahnya.
Cui Tiankai, Duta Besar Tiongkok untuk AS, melihat putusan PCA akan semakin memanaskan situasi di kawasan itu yang berpotensi menjadi konflik terbuka.
"Ini tentu akan mengintensifkan konflik dan bahkan konfrontasi," kata Cui Tiankai di Washington seperti dikutip CNN. (AFP/AP/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved