Headline
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.
MENTERI Luar Negeri Retno Marsudi menekankan bahwa demokrasi diperlukan untuk pulih dari pandemi. Hal itu disampaikannya saat membuka Bali Democracy Forum (BDF) ke-14 yang diselenggarakan secara hibrid pada Kamis (9/12).
"Saya menekankan bahwa demokrasi adalah katalis untuk terjadinya perubahan yang positif dan kita memerlukan demokrasi untuk pulih dari pandemi. BDF diharapkan dapat menjadi ajang untuk saling belajar tentang bagaimana nilai-nilai kesetaraan, inklusivitas, dan keadilan dapat membantu kita pulih, to recover together and recover stronger," kata Retno dalam pernyataan pers secara daring, pada Kamis (9/12).
Baca juga: Prancis Kembali Catat Rekor Kasus Harian Covid-19
Untuk diketahui, itu adalah tahun kedua BDF dilangsungkan secara hibrid karena situasi pandemi. BDF tahun ini mengangkat tema "Democracy for Humanity: Advancing Economic and Social Justice during the Pandemic". Tema tersebut sangat relevan dengan situasi saat ini dan merupakan kelanjutan dari tema BDF sebelumnya, yaitu "Democracy and Covid-19 Pandemic".
BDF kali ini diikuti oleh 335 peserta dari 95 negara dan 4 organisasi internasional yang hadir baik secara fisik maupun secara virtual. Turut berpartisipasi pula Sekjen PBB António Guterres dan 18 pejabat setingkat menteri/wakil menteri, antara lain Menlu AS Antony Blinken, Menlu RRT Wang Yi, Menlu Turki Mevlut Cavusoglu, Menlu Selandia Baru Nanaia Mahuta dan lain sebagainya.
Disampaikan Retno, pandemi datang pada saat demokrasi di banyak negara mengalami kemunduran. Menurut laporan Freedom House tahun 2021, katanya, kebebasan global menurun dalam 15 tahun terakhir dan 75% penduduk dunia hidup di bawah negara yang mengalami kemunduran demokrasi tahun lalu.
"Pandemi semakin memperburuk kemunduran demokrasi tersebut karena telah memaksa kita untuk mengubah cara kita menjalankan pemerintahan. Dan kita harus mencari titik keseimbangan antara menegakkan nilai-nilai demokrasi dan menerapkan peraturan untuk mengatasi pandemi," ujarnya.
Sebagian negara, katanya, berhasil dengan baik dan sebagian lagi mengalami kesulitan mempertahankan demokrasi di tengah pandemi. "Saya menegaskan tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara yang paling baik menangani pandemi adalah negara-negara demokrasi," ucapnya.
Selain itu, dia juga menekankan pentingnya untuk terus menjalankan demokrasi di masa pemulihan. Dalam kaitan tersebut, dia menyampaikan tiga hal dalam keynote speech-nnya. Pertama, harus memegang teguh prinsip kesetaraan untuk memastikan pemulihan yang cepat.
"Dalam demokrasi, keseteraan adalah soal fairness. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang setara untuk menang melawan pandemi covid-19. Untuk itu, kita harus memastikan akses vaksin yang setara bagi semua," kata Retno.
Jurang kesenjangan vaksinasi saat ini, sambungnya, masih sangat lebar. 64,94% populasi negara kaya telah divaksinasi setidaknya dengan satu dosis, sementara di negara berpendapatan rendah baru 8,06%. "Itu tentunya tidak dapat dibiarkan," tambahnya.
"Kita harus mendemokratisasikan distribusi vaksin ke semua negara utamanya yang penduduknya belum menerima dosis pertama. Saya sampaikan pengalaman Indonesia di mana kita memastikan seluruh rakyat memiliki kesetaraan akses terhadap vaksin," katanya. Hingga hari ini, Indonesia telah memvaksinasi lebih dari 142 juta orang dan hampir memenuhi target vaksinasi 40% populasi pada akhir tahun 2021 sebagaimana ditetapkan WHO.
"Pada level global, kita juga berkontribusi mendorong kesetaraan vaksin, antara lain dengan menjadi Co-Chair COVAX AMC Engagement Group," tambahnya.
Hal kedua yang disampaikannya adalah mendorong kebijakan yang inklusif untuk memastikan pemulihan bagi semua. Dalam demokrasi, kata Retno, inklusivitas berarti partisipasi seluruh rakyat dalam semua aspek tata kelola pemerintah. "Tidak ada yang boleh tertinggal dalam proses pemulihan dan semua aspirasi harus kita dengarkan sesuai dengan semangat demokrasi," tambahnya.
Pemulihan harus dirasakan oleh seluruh rakyat, utamanya mereka yang paling rentan dan paling terdampak oleh pandemi, seperti perempuan, anak muda, pekerja informal, penyandang disabilitas, dan masyarakat lokal. Demokrasi akan memberi ruang dialog untuk memastikan proses pemulihan yang menyasar tantangan-tantangan spesifik yang mereka hadapi.
Dan hal ketiga disampaikannya adalah mewujudkan arsitektur ekonomi global yang adil untuk mempercepat pemulihan. Dalam demokrasi, keadilan berarti setiap orang dapat memperoleh haknya dan mencapai kemakmuran. "Artinya, setiap negara harus memiliki kesempatan yang sama untuk pulih. Laporan dari PBB dan berbagai lembaga keuangan internasional memperingatkan terjadinya kesenjangan prospek pemulihan ekonomi antar-negara," terangnya.
Sekitar 90% negara maju, katanya, diproyeksikan dapat mencapai level pendapatan perkapita pra-pandemi di tahun 2022. Sementara negara-negara berkembang dan LDCs akan memerlukan waktu jauh lebih lama.
Dia menyampaikan bahwa lingkungan internasional yang mendukung diperlukan agar negara-negara dapat pulih dengan baik. Sayangnya, norma dan aturan ekonomi internasional saat ini tampak masih kurang demokratis dan inklusif. "Karena itu, sudah saatnya mendemokratisasikan arsitektur ekonomi global dan tatanan-tananan global lainnya. Saya berikan contoh, tidak boleh ada monopoli dalam partisipasi di ekosistem rantai pasok global," tandasnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved