Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
SEKITAR setahun lalu, wartawan Suddeutchsche Zeitung (SZ) dihubungi seseorang melalui obrolan di dunia maya (chatting). "Hallo, ini John Doe. Apakah Anda berminat data/dokumen?." Lalu dijawab wartawan SZ, " Well, kami sangat berminat."
Seseorang yang mengaku bernama John Doe itu lalu mengungkapkan bahwa dirinya dalam keadaan bahaya dan tak mau ditemui. Dia mengaku hanya ingin membagikan dokumen rahasia itu lewat file yang dienkripsi. Enkripsi merujuk pada skema algoritma yang menyandikan teks biasa ke dalam bentuk non-readable atau cyphertext, sehingga menjadi sangat privasi dan sukar dibaca oleh pengguna awam.
Penerima dari teks terenkripsi biasanya menggunakan “kunci” untuk mendekripsi pesan, dan mengembalikannya ke bentuk teks asli. Kuncinya adalah <i>trigger<p> dengan mekanisme algoritma. Hal ini lazim digunakan dalam dunia militer, semacam sandi.
Ditawari dokumen rahasia ini, sang wartawan SZ balik bertanya."Mengapa Anda melakukan ini semua,"? Lalu, dijawab oleh pengirim. "Saya ingin mengungkapkan kejahatan ini kepada publik." "Berapa banyak data/dokumen yang kita bicarakan ini?," tanya si wartawan lagi. "Lebih dari yang bisa Anda bayangkan." jawabnya. Lalu, file-file dalam bentuk kode itu bermunculan di layar komputer si wartawan.
Begitulah awal mula bocornya dokumen milik Kantor Hukum di Panama, Mossack Fonseca, yang kini dikenal dengan sebutan Panama Papers. Harian SZ yang berbasis di Jerman, merupakan media yang pertama kali mendapat dokumen rahasia itu. Entah mengapa harian yang juga menerbitkan majalah science itu yang dipilih oleh si pengirim. Harian Jerman itu lantas membagikan dokumen itu kepada grup media di seluruh dunia melalui International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Dokumen itu kini menghebohkan dunia.
Bayangkan, dalam dokumen itu sejumlah pesohor dunia disebut-sebut mengemplang pajak. Dari mulai presiden, penjahat kelas kakap, hingga selebritas. Ada 11,5 juta dokumen dari firma hukum tersebut yang dibocorkan.
Libatkan Pejabat
Keluarga Presiden Tiongkok, Xi Jinping dan sejumlah pejabat elite Partai Komunis negeri itu, juga disebut dalam dokumen itu. Mereka diduga menggunakan <i>tax havens<p> untuk menyembunyikan kekayaan mereka di bank-bank mancanegara dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Dokumen itu memperlihatkan bagaimana Mossack Fonseca membantu para kliennya untuk mencuci uang mereka, menghindari sanksi, dan mengelak pembayaran pajak. Menurut BBC, perusahaan itu telah beroperasi selama 40 tahun dan tak pernah terlibat urusan kriminal.
Seperti dilaporkan AFP, kemarin, dalam <i>Panama Papers<p> itu disebutkan setidaknya delapan anggota atau mantan Komite Tetap Politbiro, bagian dari organisasi Partai Komunis yang paling berkuasa di Tiongkok, terlibat penyembunyian pundi-pundi kekayaan mereka untuk menghindari pajak.
<i>Panama Papers<p> juga memuat sejumlah nama pemimpin dunia lainnya serta anggota keluarga mereka. Misalnya Presiden Rusia, Vladimir Putin, Ian Cameron, ayah dari Perdana Menteri Inggris, David Cameron, putra Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Mohd Nazifuddin bin Mohd Najib, anak-anak dari Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, Presiden Ukraina, Raja Arab Saudi, serta Perdana Menteri Islandia, Sigmundur David Gunnlaugsson.
"Temuan ini menunjukkan bagaimana praktik berbahaya dan kriminalitas itu terjadi di seluruh dunia," kata Gabriel Zucman, seorang ekonom di University of California, Berkeley dan penulis The Hidden Wealth of Nations:. The Scourge dari Tax Havens." (AFP/TheGuardian/Suddeutchsche Zeitung/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved