Bentrokan kembali Pecah di Hong Kong

Tesa Oktiana Surbakti
02/7/2019 07:20
Bentrokan kembali Pecah di Hong Kong
Pengunjuk rasa antipemerintah menghancurkan pintu kaca dan jendela gedung legislatif Hong Kong.(Anthony WALLACE / AFP)

PETUGAS kepolisian di Hong Kong kemarin menggunakan semprotan merica dan pentungan untuk menghalau para pengunjuk rasa.

Massa sebelumnya mengua­sai sejumlah jalan utama dalam aksi yang digadang-gadang sebagai demonstrasi besar-besaran jelang peringatan 22 tahun penyerahan Hong Kong dari Inggris ke Tiongkok.

Pusat finansial global di Asia itu telah diguncang demonstrasi bersejarah dalam tiga pekan terakhir. Tindakan massa didorong tuntutan pe­narikan rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi ke daratan Tiongkok.

Ketegangan meruncing sekali lagi di kota semiotonom itu setelah beberapa kelompok pemuda, yang mengenakan topeng, mengepung tiga jalan utama. Mereka memasang penyekat logam dan plastik untuk menghalangi akses ja­lan.

Polisi antihuru-hara yang dilengkapi helm dan tameng  berhadapan dengan pengunjuk rasa di Distrik Admiralty dan Kota Wanchai.

Sesaat sebelum upacara pengibaran bendera untuk memperingati hari penyerah­an, petugas kepolisian langsung menyerbu demonstran yang memblokade sebuah ruas jalan. Seorang perempuan ter­pantau mengalami penda­rahan akibat luka di kepala setelah bentrokan pecah.

Sejumlah demonstran melemparkan telur ke arah petugas kepolisian. Sekitar 13 petugas terpaksa dibawa ke rumah sakit karena disiram cairan yang belum diketahui jenisnya.

Gerakan protes itu mencerminkan kekhawatiran yang semakin besar bahwa Tiong­kok akan menghapus kebebasan Hong Kong dengan ban­tuan para pejabat yang pro-Tiongkok.

Seorang mahasiswa berusia 20 tahun, Benny, mengatakan demonstran harus bertindak cepat mengingat, kepemim­pin­an Hong Kong yang pro-Tiong­kok mengambil kebijak­an keras.

“Sebenarnya bukan ini yang kami inginkan. Namun, pemerintah memaksa kami untuk mengutarakan pandangan dengan cara seperti ini,” tegas­nya.

Warga khawatir

Walaupun Hong Kong dikembalikan dari pemerintah­an Inggris ke Tiongkok per 1 Juli 1997, Hong Kong masih dikelola secara terpi­sah di bawah pengaturan yang dikenal ‘satu negara, dua sistem’. Masyarakatnya menikmati hak dan kebebas­an yang jarang ditemukan di Tiongkok. Namun,  banyak warga khawatir Beijing mulai mengingkari perjanjian tersebut.

Sejumlah aktivis prodemo­krasi rutin mengorganisasi de­monstrasi setiap peringatan hari penyerahan. Mereka me­nyerukan kebebasan de­mokratis yang lebih kuat, seperti hak untuk memilih pemimpin kota.

Dalam beberapa tahun ter­akhir, mereka mampu menggalang banyak orang, termasuk pendudukan selama dua bulan pada 2014. Namun, aksi itu gagal memenangi konsesi apa pun dari Beijing.

Unjuk rasa tahun ini di­bingkai protes antipemerintah, yang belum pernah terjadi se­belumnya. Selama tiga pe­kan terakhir, aksi protes itu mampu menarik keterlibat­an jutaan orang. Publik pun ma­rah atas tindakan polisi yang menggunakan gas air ma­ta dan peluru karet, saat membubarkan massa.

Percikan gelombang protes saat ini berasal dari upaya Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, untuk mengesahkan RUU ekstradisi yang didukung Tiongkok. Wacana kebijakan itu akhirnya terpaksa ditunda menyusul reaksi publik.

Demonstrasi kemudian ber­ubah menjadi gerakan yang lebih luas, yakni melawan pemerintahan Lam dan Tiong­kok.

Lam sendiri akhirnya kembali muncul di publik dengan menghadiri upacara pengibar­an bendera yang menandai 22 tahun penyerahan kota ke kepemilikan Tiongkok. (AFP/X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya