Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
Kritik pedas terhadap rezim penguasa kerap mendatangkan petaka bagi orang-orang yang melontarkannya.
Hal itulah yang dialami pemimpin situs berita Rappler, Maria Ressa. Dia berseberangan dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Karena berani mengecam sang presiden, Ressa terpaksa membayar uang jaminan atas tuduhan penipuan pajak yang diduga sebagai upaya intimidasi publikasi.
Dia telah menghadapi serangkaian tindakan pemerintah, antara lain penutupan situs berita yang dikelolanya.
Portal berita Rappler memang kerap mengkritisi pemerintahan Duterte, khususnya kebijakan orang nomor satu di Filipina itu dalam melawan peredaran narkotika yang dinilai menyampingkan asas hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Operasi memberantas narkoba di Filipina sejauh ini telah menewaskan ribuan pengguna obat terlarang itu.
Kemarin, Ressa sang pengkritik terpaksa menyerah di meja hijau. Dia memutuskan membayar denda setara US$1.100.
Tidak cukup hanya itu, dia diperintahkan kembali ke pengadilan di Manila untuk menjalani sidang dakwaan.
Pasalnya, pemerintah menuding Rappler memberikan informasi palsu kepada otoritas pajak. "Dakwaan mereka sarat dengan muatan politik. Itu seperti dibuat-buat," kata Ressa kepada wartawan di luar pengadilan.
Intimidasi hukum tersebut direspons para aktivis dengan melontarkan kutukan terhadap tuduhan yang menimpa Rappler.
Carlos Conde, peneliti dari Human Rights Watch Philippines, menilai tuduhan tersebut merupakan strategi pemerintahan Duterte untuk mengintimidasi para kritikus.
"Serangan terhadap Rappler sejalan dengan upaya pemerintah Duterte dalam melawan kritik terhadap perang narkoba," tukas Conde.
Seperti diketahui, Filipina di bawah kepemimpinan Duterte gencar membasmi peredaran narkotika yang terlanjur merajalela.
Namun, akibat tidakan represif pemerintah, kepolisian mencatat hampir 5.000 orang tewas lantaran melawan saat ditangkap.
Di sisi lain, nasib sejumlah kritikus pemerintahan Duterte pun ada yang berakhir di balik jeruji, termasuk Senator Leila de Lima.
Dia dipenjara atas tuduhan penggunaan narkoba yang diduga sebagai jebakan untuk membungkam suaranya.
Kini, portal berita Rappler menjadi korban selanjutnya. Pemerintah menuding Rappler Holding Corp, Ressa, beserta akuntan situs berita tersebut, gagal membayar pajak atas penjualan obligasi dengan keuntungan sebesar US$3 juta pada 2015.
Obligasi yang disebut penetapan deposito Filipina tersebut terseret dalam pusaran kasus yang menyebabkan pengawas perusahan Filipina membatalkan lisensi perusahaan Rappler pada Januari lalu.
Tidak hanya itu, Duterte juga menyerang performa media lain yang kerap mengkritiknya, termasuk surat kabar The Philippine Daily Inquirer dan penyiar utama ABS-CBN.
Ancaman yang dilontarkan Duterte berkaitan dengan tuduhan pajak yang belum dibayar pemilik media itu.
"Jika Anda melanggar ketentuan hukum pajak, tentu Anda akan dituntut," tukas Salvador Panelo, juru bicara Duterte.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved