Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Enggan Sebut Tiongkok Manipulator Kurs, AS Pantau Yuan

Tesa Oktiana Surbakti
18/10/2018 12:35
Enggan Sebut Tiongkok Manipulator Kurs, AS Pantau Yuan
(AFP)

DI tengah depresiasi yuan, Washington enggan menyebut Tiongkok sebagai manipulator nilai tukar mata uang. Kendati demikian, Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) tetap menempatkan yuan dalam daftar pengawasan.

Selain yuan, mata uang dari lima negara mitra dagang AS lainnya juga masuk dalam daftar pengawasan. Departemen Keuangan AS berupaya menahan diri meski Tiongkok berpotensi mendevaluasi kurs yuan, seiring menguatnya tensi perang dagang antara AS dan Tiongkok.

"Minimnya transparansi mata uang Tiongkok dan depresiasi yuan belakangan ini, menjadi perhatian khusus bagi kami. Hal ini merupakan tantangan besar untuk mencapai praktik perdagangan yang lebih adil. Kami akan terus memantau dan meninjau praktik mata uang, termasuk terus berdiskusi dengan Bank Sentral Tiongkok (People's Bank of China)," ujar Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dalam laporan periodik kepada Kongres AS.

Dalam laporan yang fokus terhadap kebijakan perdagangan dan strategi pengelolaan kurs, Mnuchin mengungkapkan negara mitra dagang yang perlu diperhatikan dengan seksama ialah Jerman, India, Jepang, Korea Selatan dan Swiss. Kelima negara masuk dalam daftar pengawasan. 

Washington sudah menaruh kecurigaan cukup lama, bahwasanya Beijing sengaja mendevaluasi mata uang, agar kinerja ekspor lebih kompetitif. Tiongkok mengklaim pergerakan nilai tukar yuan maupun renminbi (RMB) dalam beberapa tahun terakhir, relatif menguat dan sesuai dengan fundamental ekonomi.

Di lain sisi, kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate), memberikan daya dorong pada dolar AS yang menguat terhadap mata uang global. Namun, biaya ekspor dari AS menjadi lebih mahal. Sepanjang tahun ini, nilai tukar dolar AS terhadap RMB naik 6,6%. Kurs RMB mulai melemah secara substansial pada Juni lalu.

"Pergerakan nilai tukar mata uang Tiongkok tampaknya tidak akan menekan surplus neraca perdagangannya. Departemen Keuangan AS memperkirakan adanya intervensi langsung dari Tiongkok dalam pembatasan pasar valas tahun ini. Adapun Bank Sentral melakukan intervensi secara netral yang tidak berlebihan," lanjut laporan tersebut.

Di sela-sela pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) - Bank Dunia (World Bank) pekan lalu, Mnuchin mengungkapkan telah mengadakan pembicaraan konstruktif dengan Gubernur Bank Sentral Tiongkok, Yi Gang. Pertumbuhan ekonomi AS yang melesat, disusul penurunan angka pengangguran, menstimulus kenaikan permintaan konsumen. 

Dalam hal ini, kebutuhan impor sejumlah komoditas melonjak tajam. Defisit neraca perdagangan AS terhadap Tiongkok bahkan terus melebar. Hingga Juni 2018, defisit neraca dagang tercatat US$390 miliar atau naik 3,2%.

Tren defisit neraca perdagangan yang kemudian memantik AS memperketat kebijakan proteksionisme terhadap negara mitra dagang. Sampai saat ini, Washington dan Beijing masih terkunci dalam arena perang dagang. Pemerintah AS telah memberlakukan tarif baru terhadap komoditas impor asal Tiongkok. Langkah itu dibalas Tiongkok dengan melemparkan serangan tarif pada komoditas asal AS. (AFP/OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya