Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
WARGA Suriah kini merindukan suasan damai. Seperti diungkapkan seorang warga di kota kecil Suriah Selatan yang dulu dikuasai gerilyawan, Muhammad Nasr Mahamid, pelajaran berharga yang dipetiknya ialah perdamaian merupakan hal yang paling berharga dalam hidup.
Sebelumnya, selama 7 tahun dia dan keluarganya berada dalam wilayah pertempuran. Ayah dua anak yang tinggal di kota kecil, Um Al-Mayathen itu menggambarkan kesulitan yang mereka hadapi.
Saat perang berkecamuk, Mahamid sudah tidak bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai pembuat tembok beton. Untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, dia terpaksa beralih profesi sebagai penjual susu keliling.
Baginya, musuh terbesar saat ini ialah perang. Seperti dilaporkan kantor berita Xinhua yang dipantau kantor berita Antara di Jakarta, kemarin, Mahamid akhirnya bersedia berbicara dan mengungkapkan hal-hal di dalam benaknya.
Tadinya wilayah tersebut sepenuhnya dikuasai kempok pemberontak yang fanatik. Namun, awal pekan lalu, militer Suriah berhasil merebut kota kecil tersebut setelah menggelar serangan secara besar militer di pinggir timur Provinsi Daraa.
Kini kota itu telah kosong dari para pemberontak yang dinilainya fanatik. Pertempuran meninggalkan kerusakan parah yang terlihat jelas pada bangunan rumahnya. Lubang-lubang menganga menghiasi bagian langit-langit dan puing berserakan di lantai.
Ketika pertempuran berkecamuk, dia dan keluarganya memutuskan pindah ke ruang yang lebih aman di dalam rumah untuk berlindung. Selama para gerilyawan bercokol di kota itu, kata Mahamid, kebutuhan hidup sulit didapat.
"Hidup terasa sulit dalam berbagai aspek karena gas untuk memasak mahal, air bersih susah diperoleh dan di atas semuanya kami telah menderita akibat tekanan dari para gerilyawan bersenjata di kota kami," kata Mahamid kepada Xinhua saat berkunjung ke Daraa.
Dia mengisahkan, sepekan sebelum militer Suriah memasuki kota kecil itu, warga di sana tidak mempunyai air bersih dan makanan. "Kami tidak mempunyai roti untuk anak-anak," kenangnya.
Dulu, kata Mahamid, ibunya biasa membuat roti dengan menggunakan gandum dari lumbung mereka. Namun, gandum tersebut habis dan hanya cukup untuk membuat satu roti untuk makanan anak-anaknya setiap hari.
Kini, lelaki berusia 32 tahun itu berharap perdamaian akan kembali ke negerinya sehingga anak-anaknya, saudara, dan saudarinya yang masih kecil dapat menjalani hidup normal.
"Saya berharap perdamaian kembali ke negeri kami dan kami bisa menjalani hidup seperti sebelum perang, yaitu ketika kami bisa bepergian ke Daraa dan Damaskus," tutupnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved