Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Suu Kyi Manfaatkan Sikap Bungkam ASEAN

(AP/Hym/I-1)
14/11/2017 05:15
Suu Kyi Manfaatkan Sikap Bungkam ASEAN
(AP Photo/Bullit Marquez,)

KETIKA Aung San Suu Kyi memimpin perang demokrasi melawan penguasa militer Myanmar yang despotik dua dekade lalu, dia memarahi sikap negara-negara anggota ASEAN yang enggan untuk campur tangan dalam situasi negaranya. Dalam sebuah editorial surat kabar yang diterbitkan pada 1999, Suu Kyi, mantan pemimpin oposisi, mendamprat 10 negara anggota ASEAN, dengan mengatakan 'kebijakan noninterferensi hanyalah sebuah dalih untuk tidak membantu'. 'Di hari dan masa ini', ia menulis dalam sebuah tajuk rencana di surat kabar The Nation, Thailand, pada 13 Juli di tahun itu, 'Anda tidak dapat menghindarkan diri untuk campur tangan dalam masalah negara lain'.

Ketika dia menghadiri KTT ASEAN di Manila, Filipina, kemarin, dia mungkin akan mengandalkan sikap diam blok tersebut, sementara rezimnya menindas etnik muslim Rohingya. Sebelumnya PBB menuduh Myanmar telah melakukan pembersihan etnik atas komunitas Rohingya untuk memaksa mereka meninggalkan negara mayoritas Buddha itu. Tidak jelas apakah krisis Rohingya akan masuk agenda resmi ASEAN meski Malaysia dan Indonesia tampaknya membawa masalah itu dalam pembicaraan di sela-sela pertemuan. Sementara itu Bangladesh, negara tujuan lebih dari 600 ribu warga Rohingya yang eksodus sejak Agustus lalu, bukan bagian dari blok itu.

Para pakar memandang sedikit yang bisa diharapkan untuk dilakukan ASEAN terkait dengan krisis tersebut. "KTT ASEAN tidak dirancang untuk benar-benar membangun respons-respons kebijakan terhadap isu-isu hak asasi manusia utama yang memengaruhi seluruh kawasan itu," kata David Mathieson, mantan peneliti HAM yang sekarang menjadi analis independen yang berbasis di Myanmar. "Saat ini, pemerintahan Suu Kyi mendapat manfaat dari budaya kelambanan ASEAN," ujarnya. Krisis pengungsi Rohingya dimulai pada 25 Agustus ketika gerilyawan Rohingya menyerang beberapa pos polisi Myanmar di Negara Bagian Rakhine utara, yang dibalas dengan operasi besar-besaran oleh pasukan keamanan negara itu.

PBB dan kelompok HAM menyebut Myanmar menunggangi isu gerilyawan itu melancarkan operasi pembersihan 'yang brutal' terhadap warga sipil Rohingya. Bangladesh mengatakan sekitar 3.000 Rohingya tewas di tangan pasukan keamanan dan ratusan desa mereka dibakar habis. Korban selamat telah menggambarkan pembakaran, pemerkosaan, dan penembakan oleh tentara Myanmar dan gerombolan Buddha dengan tujuan memaksa etnik Rohinya hengkang dari negara itu. Meski menuai kecaman luas, pemerintahaan Suu Kyi dengan kukuh membela tindakan tentara. Dewan Keamanan PBB pekan lalu telah meminta Myanmar untuk 'mengakhiri kekuatan militer dan kekerasan antarkelompok yang melumpuhkan masyarakat Rohingya'.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya