Bangsamoro Ingin seperti Aceh

26/9/2017 06:39
Bangsamoro Ingin seperti Aceh
(AFP/TED ALJIBE)

PERAWAKANNYA kecil. Namun, dia salah seorang pemimpin Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang memperjuangkan otonomi lebih luas bagi Bangsamoro di Filipina Selatan. “Kami menjadikan Aceh sebagai panduan,” kata Ghadzali Jaafar, o­rang nomor dua di MILF itu, tegas menjawab pertanyaan saya.

Saya dan jurnalis lain peserta 2017 Senior Journalist Seminar (SJS) yang diorganisasi East-West Center menjumpai Ghadzali di kediamannya di kawasan Sultan Kudarat, Provinsi Maguindanao, Mangindanao, Fili­pina Selatan, Jumat pekan lalu.

Pertama-tama kami menuju semacam lokasi antara yang akan mengarahkan kami ke tempat pertemuan sesungguhnya. Lokasi antara itu terletak di sebuah kampung ‘eksklusif’ di luar Kota Cotabato. Kami harus melewati sejumlah pos yang dijaga tentara MILF ber­senjatakan laras panjang. Kami menyaksikan seseorang yang dari wajahnya terlihat masih anak-anak memegang senapan M-16.

Setibanya di sana, kami diarahkan menuju rumah Wakil Ketua MILF Ghadzali Jaafar yang berlokasi sekitar 15 menit perjalanan dari lokasi antara. Untuk mencapai rumah Ghadzali, kami hanya melewati satu pos yang dijaga satu atau dua tentara MILF bersenjata laras panjang.

Namun, begitu sampai di rumahnya, kami menyaksikan puluhan tentara bersenjata lengkap berjaga-jaga. Beberapa di antaranya menenteng senapan mesin. Dalam pertemuan dengan jurnalis peserta 2017 SJS, Ghadzali menjelaskan kronologi konflik dan perjanjian damai antara muslim Moro dan pemerintah Filipina.

Sejak penjajahan Spanyol pada abad ke-16 dan dilanjutkan penjajahan Amerika pada 1898, Bangsamoro mendapat perlakuan tidak adil. Amerika, misalnya, memasukkan wilayah Bangsamoro yang meliputi Mindanao, Sulu, dan Palawan sebagai bagian Filipina tanpa persetujuan Bangsamoro dan itu dianggap pelanggaran hak menentukan nasib sendiri. Belum lagi serangkaian pembantaian yang dilakukan Amerika serta pemerintah Filipina yang menyebabkan ribuan muslim Moro tewas.

Selama ini telah berlangsung se­rangkaian proses perdamaian an­tara Bangsamoro dan pemerintah Filipina. Perjanjian damai yang ter­capai ialah Perjanjian Tripoli 1976, Perjanjian Damai Final 1996, Kerangka Perjanjian untuk Bangsa Moro 2012, serta Perjanjian Damai Menyeluruh 2014.

“Proses perdamaian itu bertujuan mengoreksi ketidakadilan historia terhadap Bangsamoro serta menciptakan kehidupan normal di Bangsamoro menuju perdamaian yang adil dan beradab,” tutur Ghadzali.

Kini muslim Moro tengah menan­ti diloloskannya Bangsamoro Basic Law (BBL) bagi otonomi yang lebih luas. Namun, mereka terpecah dalam beberapa kelompok, antara lain MILF sendiri, Moro National Libe­ration Front (MNLF), Bangsamoro Is­lamic Freedom Fighters (BIFF).

“Kalau BBL diloloskan, saya yakin semua kelompok muslim Moro akan bersatu. BIFF akan meletakkan senjatanya,” ucap Ghadzali.

Ghadzali menjelaskan kesepakat­an damai di Aceh telah meng­in­spi­rasi MILF. Paling tidak ada dua kesamaan antara cita-cita Bangsamoro dan perdamaian yang telah dicapai di Aceh. Pertama, adanya partai politik. Kedua, adanya undang-undang khusus.

Syariat Islam
Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepekati perdamaian yang digelar di Helsinski, Finlandia, pada 2005. Setelah itu terbentuklah partai politik lokal Aceh, yakni Partai Aceh, Partai Damai Aceh, dan Partai Nasional Aceh. Metamorfosis GAM menjadi parpol ialah ikhtiar mengubah perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik. Di Fili­pina Selatan, MILF pada 2014 membentuk Partai Keadilan Serikat.

Di Indonesia, pada 2006 lahir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Undang-undang ini mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Dalam konteks Bangsamoro di Filipina Selatan, pemberlakuan Bangsamoro Basic Law yang kini sedang dinanti MILF.

Di Filipina Selatan sebenarnya telah berlaku hukum Islam secara terbatas. Hukum Islam di sana antara lain mengatur perkawinan dan warisan, tetapi tidak tindakan kriminal.

Bila BBL diberlakukan, akan menciptakan otonomi lebih luas bagi Bangsamoro sehingga mereka bisa menerapkan syariat Islam secara lebih luas pula.

“Hukum Islam hanya berlaku untuk muslim,” kata Ghadzali.

Sebelumnya, jurnalis peserta 2017 SJS bertandang ke pengadilan syariah di Cotabato, Filipina Selatan, dan berdiskusi dengan hakim Datukaka P Camsa, Kamis (21/9).

“Kami menginginkan penerapan hu­kum Islam seperti di Aceh,” kata Datukaka.

Barangkali hakim Datukaka tidak mengetahui bahwa banyak aktivis dan lembaga swadaya masyarakat yang meminta perda syariat di Aceh ditinjau ulang, terutama ter­kait dengan hukuman cambuk. (Usman Kansong/X-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya