Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Melawan, Pilihan Terakhir Rohingya

AFP/Heryadi/I-2
30/8/2017 05:03
Melawan, Pilihan Terakhir Rohingya
(AFP/Rehman Asad)

WALAU kondisinya hamil tua, Ayesha Begum rela ditinggalkan suaminya yang melawan kesewenang-wenangan militer Myanmar bersama-sama pria Rohingya lainnya. Kini, Begum tanpa didampingi suaminya menanti kelahiran anak keenam mereka di kamp pengungsian di Bangladesh.

"Dia membawa kami ke sungai dan menyeberangkan kami," tutur Begum di Kamp Kutupalong, menggambarkan perjuangannya menyeberangi Sungai Naf bersama anak-anaknya yang masih kecil.

Begum, 25, bersama ribuan warga muslim Rohingya lainnya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi besar-besaran pada Jumat (25/8).

"Dia mengucap selamat tinggal. Katanya, jika kita tidak bisa bertemu lagi di Arakan (Negara Bagian Rakhine), kita akan bertemu di surga," sambungnya.

Setelah bertahun-tahun menjadi korban pembantaian militer Myanmar, muslim Rohingya kini menjawab panggilan untuk melawan.

Titik balik itu terjadi Oktober lalu ketika kelompok militan tidak dikenal, Tentara Penyelamatan Arakan Rohingya (ARSA), menyerang pos-pos militer. Militer Myanmar menjawab serangan itu dengan operasi pembersihan terhadap seluruh warga Rohingya dengan alasan menumpas kelompok itu.

Kelompok itu kembali menyerang 30 pos polisi sehingga menewaskan puluhan polisi pada Jumat (25/8) dengan hanya bersenjatakan pisau, bom, dan senapan rakitan.

Seruan kelompok itu untuk melakukan perlawanan disambut pria-pria Rohingya yang berada di pengungsian atau perbatasan Bangladesh. Seorang tetua adat Rohingya, Shah Alam, yang ditemui di perbatasan Myanmar-Bangladesh, mengakui bahwa 30 pria dari tiga desa di distriknya telah bergabung dengan ARSA.

"Apakah mereka punya pilihan lain? Mereka lebih memilih bertarung dan mati daripada dibantai seperti sapi," tuturnya.

Meski hanya bersenjata seadanya dan tidak yakin bisa mengalahkan militer Myanmar yang bersenjata lengkap, kondisi itu tidak menyurutkan tekad mereka melakukan perlawanan.

"Ada ratusan saudara kami bersembunyi di bukit-bukit. Kami telah bersumpah akan menyelamatkan Arakan meski hanya dengan tongkat dan pisau," tegas seorang remaja Rohingya yang bergabung dengan kelompok militan tersebut.

Pernyataan remaja itu seperti menampar pernyataan mantan tokoh Myanmar Aung San Suu Kyi. Dia menuding ARSA sebagai teroris dan menggunakan anak-anak sebagai tentara.

Bagi banyak remaja Rohingya, perlawanan sudah menjadi pilihan terakhir.

"Remaja-remaja kami sudah lelah. Mereka tumbuh menyaksikan penistaan dan penyiksaan. Kini mereka memiliki konsensus jika tidak melawan, mereka tidak akan memberikan hak kami," ujar seorang aktivis Rohingya di Bangladesh.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya