Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
DIANGGAP sebagai kelompok teroris oleh Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, gerakan perlawanan Palestina, Hamas, melakukan beberapa langkah penting untuk membuka isolasi internasional.
Salah satunya dengan memilih Ismail Haniya sebagai pemimpin baru menggantikan Khaled Meshaal, Sabtu (6/5).
Menurut pengamat Timur Tengah, Smith Al Hadar, Haniya bukan sosok baru bagi Hamas dan cenderung lebih moderat dibanding pejabat garis keras Hamas lainnya.
"Pada 2006, Partai Perubahan dan Reformasi, partai yang dibentuk Hamas di (Jalur) Gaza, memenangi pemilu Pa-lestina dan membawa Haniya menjadi Perdana Menteri Palestina. Kendati pecah perang antara Hamas-Fatah pada 2007, Haniya tetap mempertahankan posisinya sebagai PM yang sah," ujar Smith kepada Media Indonesia, Senin (8/5).
Di masa itu pula Haniya menyurati Presiden AS untuk meminta perundingan langsung dengan Palestina. Namun AS tidak menggubris surat itu.
"Haniya terbilang pemimpin politik senior Hamas yang moderat. Anak dan mertuanya dikirim ke rumah sakit Tel Aviv, Israel, untuk mendapat perawatan karena Rumah Sakit di Gaza kurang fasilitas," ujarnya.
Kemoderatan Haniya juga dapat dilihat ketika dia terpilih menggantikan Khalid Meshaal sebagai kepala biro politik Hamas ketika melakukan perubahan mendasar pada piagam perjuangan vis a vis Israel.
Israel juga, kata Smith, tidak berusaha membunuh Haniya seperti yang biasa dilakukan Israel terhadap sejumlah pemimpin penting Hamas.
"Sikap Haniya terhadap Israel juga sudah jelas. Dia akan mengakui eksistensi Israel asalkan Israel memerdekakan Palestina dengan perbatasan tahun 1967," tambahnya.
Sebelum mengumumkan Haniya sebagai pemimpin baru, Hamas juga mengeluarkan dokumen kebijakan baru yang sedikit meredakan ketegangan dengan Israel.
Dokumen itu menerima gagasan tentang Palestina adalah negara dengan wilayah yang diduduki Israel dalam Perang Enam Hari pada 1967 dan menekankan bahwa perang tidak melawan orang Yahudi karena agama mereka, tapi melawan Israel sebagai penjajah.
"Ismail Haniya merupakan orang yang paling tepat untuk mempromosikan dokumen ini kepada pemimpin Arab dan internasional," ujar ahli politik Gaza, Mukhaimer Abu Saada. (Ihs/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved