Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
WARGA Turki mulai memberikan suara pada Minggu (16/4) dalam referendum perluasan kekuasaan presiden yang akan menentukan masa depan politik Ankara.
Lebih dari 55,3 juta penduduk akan memberikan suara dalam referendum yang jika disetujui, akan memberikan Presiden Recep Tayyip Erdogan kekuatan yang lebih besar dari semua pemimpin Turki yang pernah ada. Bahkan sejak pendiri negeri tersebut, Mustafa Kemal Ataturk dan penggantinya, Ismet Inonu.
Tempat pemungutan suara (TPS) di Kota Diyarbakir dan sejumlah kota sebelah timur lainnya telah dibuka sejak pukul 04.00 GMT (11.00 WIB), sementara TPS di Istanbul, Ankara dan kota lainnya mulai dibuka sejam setelahnya.
Hingga Sabtu (15/4) kelompok yang menolak referendum masih menggelar aksi unjuk rasa untuk memengaruhi pemilih yang belum memutuskan. Sementara itu Erdogan dengan percaya diri meramalkan kelompok yang mendukung referendum akan meraih kemenangan.
"Sebuah 'Ya' yang muncul dari kotak suara dengan margin tertinggi akan menjadi pelajaran ke Barat," ujar Erdogan di distrik Sariyer Istanbul dalam kampanye referendum terakhir.
"Kita melakukan beberapa referendum (di masa lalu) namun referendum ini adalah pilihan untuk perubahan dan transformasi untuk sebuah sistem administrasi yang baru di Republik Turki. Dengan izin Tuhan, malam ini, rakyat kita akan berjalan menuju masa depan dengan membuat pilihan yang diharapkan," ujar Erdogan setelah memberikan suaranya di sebuah sekolah di Istanbul pada Minggu (16/4).
Sejumlah pendukung Erdogan juga turut memberi suara pada Minggu (16/4) salah satunya, Emrah Yelinkaya, yang mengaku telah memilih 'Ya'.
"Jika kami berada di sini hari ini, itu adalah berkat dia (Erdogan). Saya memilih karena saya mendukung reformasi konstitusi," ujarnya.
Jika referendum disetujui, sistem presidensial yang baru akan menghapus jabatan perdana menteri (PM) dan memusatkan seluruh birokrasi eksekutif di bawah presiden.
Sistem yang berlaku setelah pemilihan umum (pemilu) pada November 2019 ini juga akan memberikan Erdogan kuasa untuk menunjuk menteri kabinetnya.
Erdogan yang menjadi presiden pada 2014 setelah menjabat sebagai PM sejak 2003 ini juga akan dapat mencalonkan diri sebagai presiden untuk dua kali masa jabatan. Pria 63 tahun ini akan dapat berkuasa sampai 2029, hingga presiden yang terkenal energik ini berusia 75 tahun.
Selain itu, konstitusi baru juga akan berdampak yang lebih luas terhadap negara anggota utama NATO ini, yang telah setengah abad mencoba untuk bergabung bersama Uni Eropa (UE).
Erdogan sendiri telah memperingatkan UE bahwa jika referendum terjadi dirinya akan menandatangani RUU yang disepakati parlemen untuk memberlakukan kembali hukuman mati, sebuah langkah yang secara otomatis akan mengakhiri jalan Ankara ke UE.
Reaksi Barat untuk referendum sangat penting, setelah Erdogan menuding sekutu Turki gagal untuk menunjukkan solidaritas yang cukup setelah kudeta gagal 15 Juli.
"Referendum akan menandai titik balik lain, atau lebih tepatnya persimpangan jalan dalam sejarah politik Turki," tulis pemimpin redaksi Harian Hurriyet, Murat Yetkin.
Sementara itu pertanyaan kunci muncul apakah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang tengah berkuasa dapat melakukan tindakan seimbang dalam mendapatkan dukungan dua kelompok, Kurdi dan Nasionalis untuk memilih 'Ya'.
Menurut Asli Aydintasbas, senior Dewan Eropa dalam Hubungan Internasional, untuk memenangkan referendum, Erdogan harus melakukan penyeimbangan yang halus. "Erdogan harus terus memenangkan suara agar tetap berkuasa dan kampanye sepanjang waktu, dirinya juga harus memenangkan pemilihan dari kelompok Kurdi dan nasionalis," ujarnya.
Sementara itu kelompok oposisi mengecam bahwa kampanye referendum telah dilakukan dengan tidak adil. Setiap jalanan dipenuhi dengan poster-poster 'Ya' sementara suara oposisi diredam dari media.
Jejak pendapat ini juga berlangsung di status darurat yang telah menahan 47 ribu orang setelah kudeta gagal terjadi.
Pendukung referendum mungkin melihat sebuah sistem baru akan menjadi langkah modernisasi penting bagi Turki namun oposisi melihat ini akan beresiko memberi Erdogan kekuatan otoriter.
"Sistem baru ini seperti bus tanpa rem dan tanpa tujuan yang tidak diketahui," ujar pemimpin oposisi, Partai Republik Rakyat (CHP), Kemal Kilicdaroglu.
Di tengah jejak pendapat yang tengah berlangsung, media lokal melaporkan Kantor Kepala Jaksa Penuntut Umum telah mengeluarkan perintah penyelidikan terhadap 17 orang warga Amerika Serikat (AS), termasuk politisi, birokrat, dan akademisi.
Menurut kantor berita Turki, Anadolu, mantan Direktur CIA, John O. Brennan, Senator New York, Chuck Schumer, jaksa AS untuk Distrik Selatan New York, Preet Bharara, dan Presiden Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri (OFAC), David Cohen, termasuk dalam tersangka.
Mereka semua dituding telah memiliki hubungan dengan gerakan FETO yang dipimpin oleh Fethullah Gulen, yang menurut Ankara adalah dalang kudeta gagal Juli lalu. Media lokal juga menyebutkan sejumlah bukti dugaan keterlibatan mereka dengan gerakan Gulen telah diserahkan ke jaksa. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved