PERKEMBANGAN teknologi seperti telepon seluler dan media sosial turut memicu tingginya perceraian di Indonesia. Berdasarkan data Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama 2015, dari 25.310 perceraian dengan kasus gangguan pihak ketiga, sekitar 35% dipicu pengaruh media sosial dan gaya hidup.
''Ada sekitar 9.000-an kasus cemburu. Tidak sedikit bermula dari kemajuan teknologi, yakni jalinan melalui media sosial,'' papar Kepala Bidang Litbang Aliran dan Pelayanan Keagamaan Kemenag Kustini di sela acara Ekspos Hasil Penelitian Keagamaan 2015, di Jakarta, kemarin.
Ia menjelaskan fenomena cerai gugat karena kemajuan teknologi banyak terjadi di Aceh. ''Mayoritas perempuan di sana memaknai perceraian sebagai lompatan menuju hidup lebih baik,'' ujarnya.
Selain itu, faktor lain yang umumnya jadi penyebab perceraian ialah ketidakharmonisan rumah tangga, tidak ada tanggung jawab suami, dan masalah ekonomi.
''Kecenderungan perempuan bekerja saat ini juga makin mendorong perempuan untuk mengambil keputusan (bercerai),'' ucap dia.
Cendekiawan muslim Azyumardi Azra menambahkan, tradisi etnik, pernikahan usia dini, dan perjodohan turut jadi penyebab perceraian.
Karena itu, kata dia, perlu pembekalan secara fisik dan mental bagi calon pengantin untuk meningkatkan pemahaman esensi pernikahan yang sakral.
Kursus pranikah Terkait dengan itu, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Abdul Rahman Mas'ud mengusulkan agar pemerintah mewajibkan calon pengantin mengikuti kursus pranikah.
''Kami sebutnya kursus calon pengantin. Sekarang sudah ada di KUA-KUA, tapi ini belum efektif lantaran anggaran. Nantinya, ini bisa dilakukan selain KUA, yakni oleh ormas Islam,'' ujarnya.
Abdul menilai kursus calon pengantin sangat penting untuk mengurangi angka perceraian sebab di dalamnya meliputi pendidikan dan pemahaman mengenai pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga.
Sementara itu, M Agus Syafii dari Rumah Amalia, organisasi yang peduli dengan pendidikan anak-anak, mengingatkan para orangtua agar berpikir kembali sebelum memutuskan bercerai.
''Anak-anak yang hidup dengan salah satu orang tua setelah perceraian akan berakibat lebih buruk karena bisa meningkatkan risiko gangguan psikis pada anak.''
Selain itu, jelas dia, praktik asuh bersama, yakni anak-anak bergantian menghabiskan waktu dengan tiap orangtua yang bercerai bisa menyebabkan stres dan lebih mudah terkena emosi ketimbang anak yang hidup dengan keluarga inti. (H-2)