Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PENABRAKAN terumbu karang di Raja Ampat, Papua Barat, oleh kapal pesiar MV Caledonian Sky bukan saja kesalahan manusia semata. Insiden itu juga menunjukkan dampak buruk industri wisata terhadap lingkungan.
“Industri pariwisata memang bak seperti dua keping mata uang, yakni keuntungan dan tantangan. Keuntungan bisa diperoleh, di sisi lain, industri ini juga bisa memberikan tekanan pada alam karena kebutuhan yang besar pada sejumlah hal seperti lokasi, pangan, air, serta energi,” tutur Koordinator Pariwisata Bahari WWF Indonesia Indarwati Aminuddin kepada Media Indonesia, Rabu (15/3).
Di berbagai lokasi wisata bahari di Nusantara memang jamak ditemui aktivitas wisata yang tidak sadar lingkungan. Bukan saja kapal berbobot besar, kerusakan lingkungan juga bisa diakibatkan kapal-kapal kecil bahkan tindakan turis perorangan.
Misalnya, operator kapal yang dengan seenaknya membuang jangkar di lokasi terumbu karang, operator kapal mengemudikan kapal sangat dekat dengan kerumunan lumba-lumba, atau juga wisatawan yang tidak acuh menginjak terumbu saat snorkeling maupun diving.
Belum lagi jika melihat produksi limbah akibat kegiatan wisata. Lokasi wisata Gili Trawangan disebut menghasilkan sampah 12 ton/hari, Labuan Bajo 11 ton/hari, dan Karimun Jawa 10 ton/hari.
Berbagai tindakan tidak sadar lingkungan itu bukan hanya menyebabkan kerusakan ekosistem, melainkan juga, pada akhirnya, merugikan sumber pangan dan ekonomi masyarakat lokal. Kerugian itu bisa berlangsung puluhan tahun, sesuai dengan lamanya kemampuan ekosistem untuk pulih.
Dengan berbagai kondisi itu, Indarwati menilai pengelolaan pariwisata Tanah Air harus dibenahi serius. Pembenahan itu harus dimulai dengan pamahaman yang sama, baik pemerintah maupun para pelaku industri wisata, bahwa pariwisata semestinya juga melindungi sumber daya alam dan bukan semata meraih keuntungan.
Sejak akhir 2015, WWF Indonesia juga ikut mengampanyekan kegiatan panduan berjudul Mengamati dan Berinteraksi dengan Satwa Laut. Panduan tersebut diperuntukkan operator wisata ataupun wisatawan.
Salah satu contohnya, untuk pengoperasian kapal wisata pengamatan lumba-lumba, kapal hanya diperbolehkan mendekat sampai jarak 50 meter dari satwa tersebut.
Zona keberadaan kapal itu pun hanya boleh di luar 60 derajat arah depan maupun belakang lumba-lumba. Dengan kata lain, hanya bisa dari arah samping lintasan lumba-lumba. Hal itu dilakukan agar tidak mengganggu pergerakan mamalia laut itu.
Selain itu, jumlah kapal dan lamanya pengamatan pun dibatasi. WWF Indonesia menganjurkan pengamatan dilakukan bergantian dengan setiap kapal memiliki waktu maksimal 30 menit.
Aturan belum lengkap
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Junaedi sepakat bahwa pelaku industri harus memiliki kesadaran lingkungan. Namun, Didien juga menekankan diperlukan sosialisasi peraturan dan panduan wisata sadar lingkungan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Selama ini, tambah Didien, sebagai upaya menjaga lingkungan, pihaknya hanya menganjurkan kepada para anggota untuk melibatkan pula masyarakat sekitar. Namun, Didien mengungkapkan peraturan yang ada sebenarnya belum lengkap dan selain itu berbeda di tiap daerah.
Ia mencontohkan aturan mengenai standar pendirian resor di kawasan pantai. “Kalau hotel itu idealnya berjarak radius 500-1 km dari destinasi wisata, khususnya yang dilindungi atau memiliki nilai sejarah. Namun, di Bali 100-200 meter saja cukup,” ucap Didien.
Terkait dengan bobot kapal, sayangnya, selama ini Indonesia memang belum memiliki aturan untuk di kawasan konservasi, seperti di Raja Ampat.
Pemerintah sudah saatnya belajar dari negara lain yang memiliki aturan ketat untuk kegiatan wisata di kawasan konservasi. Contohnya ialah berbagai peraturan yang dibuat Departemen Perlindungan Lingkungan dan Warisan Budaya Australia.
Tidak hanya aturan untuk kapal dalam pengamatan satwa laut, aturan juga dibuat untuk pengamatan dari udara. Ketinggian terbang terendah helikopter dan pesawat dalam mengamati satwa laut adalah 500 meter. Helikopter pun tidak diperbolehkan melayang diam. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved