Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Jurnalisme yang Merawat Keberagaman

Abdillah Marzuqi
14/3/2017 20:00
Jurnalisme yang Merawat Keberagaman
(MI/PANCA SYURKANI)

KEBERAGAMAN adalah niscaya. Begitupun juga perbedaan. Tidak ada satupun yang sama seluruhnya. Diakui atau tidak. Diterima atau tidak. Itulah yang telah menjadi kehendak semesta.

Tak dapat disangkal, Indonesia adalah salah satunya yang menerima berkah keberagaman. Berbagai macam etnis, suku, dan agama bisa hidup dengan setara di Indonesia. Namun sejak era reformasi, tantangan keberagaman pun muncul.

Atas nama demokrasi, segala sesuatu menjadi layak untuk didebat. Menggunakan demokrasi untuk menjegal demokrasi itu sendiri. Atas nama demokasi pula, keberagaman diberangus. Saat ini, keberagaman di Indonesia menjumpai ujian berat. Terlebih ketika musim Pilkada. Ketika semua kepentingan berbaur menjadi satu lalu mengaburkan semuanya. Hal yang semestinya diterima sebagai keniscayaan menjadi sesuatu yang layak bahkan wajib digugat.

Padahal, seharusnya keberagaman dirawat dan dijaga. Tugas itu menjadi tanggung jawab bersama, termasuk pers yang disebut sebagai salah satu pilar demokrasi.

Celakanya, jurnalisme belum sepenuhnya mengambil peran tersebut. Jurnalisme masih gagap ketika dituntut mengambil tugas tersebut. Apa yang terjadi sang pewarta malah menjadikan suasana adem jadi keruh, suasana gerah menjadi panas. Pemberitaan tentang peristiwa tertentu malah menjadikan negara semakin gawat dan memberangus kedamaian.

Itulah yang menjadikan bedah buku Jurnalisme Keberagaman; Untuk Konsolidasi Demokrasi karya Usman Kansong, menjadi istimewa. Acara ini diadakan di Gedung B Kantor Staf Presiden Jakarta pada Selasa (14/3).

Buku itu mengantarkan pemahaman terkait jurnalisme keberagaman. Mengapa itu penting? Sebab Indonesia kaya dengan berbagai macam identitas, termasuk etnis, kultur, bahasa, dan agama. Identitas itu harusnya bisa menjadi sarana untuk saling mengenal, saling menghargai, dan saling bertoleransi. Namun alih-alih menciptakan keberagaman yang sejuk, identitas itu lebih banyak memicu pertikaian.

"Banyak media yang tidak mengedepankan keberagaman, bukan hanya media berbasis pada agama, melainkan juga media mainstream," ujar Usman dalam pemaparan awal.

Di sinilah pentingnya peran jurnalisme keberagaman. Jurnalisme semestinya berkontribusi mewujudkan pemahaman tentang keberagaman dan meminimalisasi konflik akibat penguatan identitas masing-masing.

"Jurnalisme Keberagaman adalah jurnalisme yang berkhidmat pada keberagaman. Maka dia tentu saja harus peduli pada keberagaman dan perbedaan agama, etnik, dan gender," lanjut Direktur Pemberitaan Media Indonesia ini.

Tiga orang pembedah didapuk untuk mengulas buku ini. Pembedah pertama adalah Deputi IV Kantor Staf Presiden Gabriel Sujayanto. Ia mengukuhkan argumen keberagaman dengan berbagai gambar peristiwa yang terjadi di Indonesia. Hingga mencapai kesimpulan akhir.

"Keberagaman di Indonesia itu dicuplik dari mana saja ya isinya keberagaman," ujar Sujayanto menguatkan argumen tentang keberagaman di Indonesia.

Sujayanto juga mencohkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh jurnalisme saat ini dalam rangka keberagaman. Beberapa di antaranya, yaitu sikap mental wartawan yang belum mencerminkan keberpihakan terhadap jurnalisme keberagaman. Pemilihan diksi yang bisa memperuncing suasana, seperti; sesat, menyimpang, bertobat, bentrokan. Media bermain aman dengan memilih untuk tidak memuat suatu peristiwa. Pemberitaan yang tidak fair, bahkan membingkai korban jadi pelaku. Atau yang lebih tidak sesuai dengan jurnalisme keberagaman adalah mengobarkan jurnalisme perang, memberi panggung pada yang intoleran, dan tidak sensitif gender.

Meski demikian, tidak hanya persetujuan yang dilayangkan oleh Sujayanto. Ia juga mengkritik buku itu karena alur logis pembahasan antara pokok persoalan dan jawaban ditempatkan cukup jauh.

"Jadi antara maksud sama jawaban itu terlalu jauh, mungkin bisa agak didekatkan," terang Surjanto.

Bukan rahasia lagi, saat ini kondisi sosial politik sedang menggalami suhu panas. Media lebih dituntut untuk memberitakan keberagaman. Padahal media atau pers di Indonesia, baik yang mainstream, apalagi yang bernuansa agama, belum sepenuhnya mengagendakan keberagaman dalam pemberitaan mereka. Masih terdapat banyak problem dalam pemberitaan keberagaman. Terlebih ketika menghadapi tantangan bernama pasar dan kepentingan, jurnalisme keberagaman mendapati ujian yang tidak mudah. Hal itu menuntut para jurnalis paham dan mampu memainkan peran sebagai penjaga keberagaman.

Pada poin ini, Ketua Biang Media PB PMII Putri, Nidhomatun Mukhlisotur Rohmah memperluas bahasan tantangan pasar dengan usul agar buku ini juga memuat bagaimana tantangan jurnalisme keberagaman menghadapi pemilik modal dan pengiklan.

"Hambatan itu sebenarnya tidak hanya dari sikap wartawan. Tapi lebih pada bagaimana media itu mem-blow up atau mem-publish," ujarnya.

"Media itu pasti ada pemilik modal atau pengiklan yang bisa membatasi berita itu muncul di-publish untuk masyarakat," tambahnya setelah sebelumnya memuji buku ini ditulis dengan sangat runtut.

Bukan hanya persoalan konten dan alur logika penempatan bab yang mendapati tambahan ide dari para pembedah. Sampul buku pun tidak luput dari bahasan. Direktur utama Bakornas PB HMI Muhammad Shofa mengungkapkan hal itu. Menurutnya, ia kesulitan untuk menangkap pesan dari sampul buku yang bergambar bendera merah putih itu dengan judul Jurnalisme Keberagaman; Untuk Konsolidasi Demokrasi.

"Saya belum menemukan makna filosofis yang tepat yang ada dalam buku ini terkait cover-nya," terangnya.

Menanggapi ide segar dari para pembedah itu, Usman mengaku tidak keberatan. "Iya, saya kira ini kan bedah buku salah satunya dikritik untuk kebaikan," terangnya.

Usman mengaku bakal memasukkan ide segar tersebut dalam buku edisi kedua. "Itu akan saya terapkan di buku ini siapa tahu ada edisi kedua," terangnya seusai acara.

Usman mengatakan untuk membangun jurnalisme keberagaman para jurnalis di tingkat manapun harus paham tentang jurnalisme keberagaman. "Pertama itu mindset. Harus paham dulu," tegasnya. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya