Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Pendopo Tua di Kotagede Banyak Beralih Fungsi

Ardi Teresti
02/3/2017 19:24
Pendopo Tua di Kotagede Banyak Beralih Fungsi
(Dok. MI)

BANGUNAN kuno pendopo di kawasan Kotagede, DI Yogyakarta yang berpotensi sebagai bangunan cagar budaya yang sebenarnya bisa dipromosikan jadi kawasan cagar budaya internasional sebagian sudah beralih fungsi menjadi bagian dari tempat tinggal dan gudang oleh pemiliknya. Bahkan ada yang diperjualbelikan.

Hal itu dikemukan oleh peneliti dan pemerhati bagunan cagar budaya dari Jepang, Prof Kunihiko Ono. Dosen Cyber University, Jepang ini mengatakan pemanfaatan pendopo di Kotagede tidak lagi difungsikan secara optimal seperti di masa lalu.

Di masa lalu pendopo sebagai simbol status kelas menengah ke atas masyarakat ini diperuntukan untuk kegiatan pemetasan, ruang pertemuan, dan acara seremonial. "Awalnya diginakan tempat pertemuan antar warga masyarakat di situ dan tempat untuk berekpresi (pentas seni)," ujar Ono dalam sebuah Diskusi pemaparan hasil risetnya tentang keberadaan pendopo Kotagede di Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada.

Ono memaparkan hasil penelitiannya pada 27 rumah di Desa Jagalan yang memiliki 27 pendopo. Kesimpulannya, sebagian besar tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan tradisi atau upacra tradisional namun dimanfaatkan sebagai tempat tinggal kehidupan sehari-hari.

Penggunaan pendopo sebagai wahana kegiatan tradisional saat ini bahkan sudah menurun sekali. Perubahan fungsi pendopo tersebut, menurut Ono, tergantung dengan kemauan si pemilik. "Penggunaan pendopo dengan pemiliknya sangat erat sekali," tuturnya.

Meski begitu, imbuh Uno, selama bangunan pendopo masih digunakan sebagai tempat tinggal dan dimanfatkan untuk kegiatan lain dengan tidak merusak struktur konstruksi bangunan hal itu tidak menjadi masalah serius. "Justru bangunan kuno akan cepat rusak apabila tidak ada penghuninya sama sekali," imbuhnya.

Persoalan semacam ini, menurut Ono, tidak hanya di Indonesia. Dia mengakui hal serupa juga terjadi di negaranya meskipun pemerintah Jepang telah menetapkan 110 ribu benda cagar budaya. "Meski benda cagar budaya itu prinsipnya dilindungi namun pemerintah Jepang mempermudah bagi pemilik untuk memanfaatkannya dengan baik. Misal digunakan untuk tempat perdagangan, cafe, restoran atau tempat wisata," ujarnya.

Ono menambahkan seharusnya ada keseimbangan terhadap pengembangan benda cagar budaya dengan pelestariannya berjalan dengan baik. Pasalnya, bangunan kuno hingga ditetapkan sebagai cagar budaya setidaknya masih memiliki nilai-nilai tradisi yang dipertahankan dan nilai-nilai itu tidak ditemukan di tempat lain. "Di Indonesia yang saya tahu baru ada 26 daftar cagar budaya, termasuk di dalamnya kompleks Kraton Yogyakarta," ujarnya.

Dosen arsitektur UGM sekaligus pemerhati bangunan cagar budaya, Yoyok Wahyu Subroto membenarkan bahwa bangunan kuno di Kotagede berpotensi untuk dijadikan cagar budaya dengan catatan harus dinilai dari tingkat keaslian dan identitas yang masih dimiliki bangunan tersebut.

Persoalan perubahan fungsi bangunan kuno untuk kepentingan pemiliknya, menurut Yoyok, merupakan keniscyaan yang harus dihadapi. "Masyarakat Kotagede juga berubah dari sisi kebutuhan dan lingkungan sekitar bangunan yang seharusnya ikut juga melestarikannya," pungkas dia.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya