Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Regulasi Kelola Mangrove Lemah

Richaldo Y Hariandja
06/2/2017 09:52
Regulasi Kelola Mangrove Lemah
(MI/Siti Retno Wulandari)

PENGELOLAAN dan perlindungan ekosistem mangrove belum memiliki petunjuk teknis yang kuat dalam bentuk regulasi formal. Sejauh ini, regulasi yang ada terkait dengan pengelolaan mangrove tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Namun, perpres tersebut dinilai belum cukup kuat lantaran baru bersifat instruktif. Akibat lemahnya peraturan, menurut catatan Center for International Forestry Research (Cifor), tiap tahunnya terjadi alih fungsi 52 ribu hektare ekosistem mangrove. Hal itu menyebabkan Indonesia kehilangan potensi karbon senilai US$3,1 miliar per tahunnya.

"Perpres masih bersifat koordinatif, belum regulated, dan belum ada petunjuk teknis atau pemberian sanksi jika ada kesalahan," ucap Peneliti Senior Cifor Daniel Mudiyarso di Jakarta, Jumat (3/2).

Menurut Daniel, para peneliti mangrove sudah menunggu pemerintah mengeluarkan peraturan turunan dari perpres tersebut yang diharapkan berwujud rencana strategis untuk dijadikan landasan kerja dan masuk penganggaran. Penelitian terkait dengan mangrove sendiri sudah cukup masif dan banyak menghasilkan hitungan keuntungan atas ekosistem pesisir tersebut.

Ekosistem mangrove, lanjut Daniel, menjadi penting untuk dilindungi karena memiliki potensi karbon empat kali lebih besar ketimbang karbon di kawasan hutan daratan.

"Hal itu disebabkan sedimentasi yang dihasilkan ekosistem mangrove memiliki komposisi 80% deposit keseluruhan biomassa atau 1.200 biomassa. Sementara itu, above ground-nya terdapat 80 ton hingga 100 ton biomassa," imbuh dia.

Hal yang juga menguntungkan, sedimentasi itu juga menjadi salah satu kunci dalam menahan abrasi.

"Kalau menurut data, akan ada kenaikan 1 meter air laut dalam 100 tahun karena perubahan iklim. Sementara itu, mangrove menghasilkan sedimentasi 4 milimeter per tahun, ini bisa jadi solusi," terang Daniel.

Ia menambahkan belum adanya peraturan khusus dari pemerintah pusat membuat perlindungan mangrove selama ini hanya dilakukan para ilmuwan dan aktivis lingkungan bekerja sama dengan pemilik kawasan setempat, baik pemerintah lokal maupun pengusaha. Akan tetapi, beberapa daerah justru menjadikan hal tersebut sebagai simbol politis semata untuk menunjukkan mereka peduli lingkungan.

"Dari segi awareness itu bagus. Padahal, masalahnya lebih luas dari itu," tutur Daniel.

Konsep silvofishery
Direktur Wetlands International Indonesia Nyoman Suryadiputra memperkenalkan konsep silvofishery yang memadukan pengelolaan kawasan mangrove dan tambak untuk diterapkan di kawasan pesisir Indonesia.

"Mayoritas ekosistem mangrove hilang karena dikonversi menjadi tambak. Dengan konsep ini, kita perkenalkan bagaimana tambak dan mangrove itu bisa berjalan beriringan," terang Nyoman.

Selama ini mangrove dikonversi karena dianggap mendatangkan burung yang dapat mengganggu keberlangsungan tambak. Padahal, penambakan di kawasan pesisir dapat memperbesar potensi abrasi.

"Lahan kita yang rusak ada tiga juta, itu banyak sekali. Kalau ada peraturan yang mewajibkan pemilik tambak untuk menanam mangrove di pematangnya, akan ada miliaran pohon yang ditanam. Itu juga bisa jadi modal bagus untuk kita dalam menurunkan emisi gas rumah kaca," kata Nyoman. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya