Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Industri Enggan Lirik Ulat Sutra Lokal

MI
03/2/2017 11:04
Industri Enggan Lirik Ulat Sutra Lokal
(Antara/Dewi Fajriani)

PENGEMBANGAN ulat sutra lokal terkendala oleh minimnya minat dunia usaha untuk mengembangbiakkan ulat sutra dalam jumlah besar. Padahal, kualitas ulat sutra lokal tidak kalah bila dibandingkan dengan ulat sutra impor asal Tiongkok.

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan ulat sutra lokal yang berhasil dikembangkan dengan kode PS01 mampu menghasilkan 1 kilogram (kg) benang dari 6 kg kokon (kepompong ulat sutra). Hasil itu menyerupai kemampuan dari bibit ulat sutra impor.

"Tetapi memang harus sesuai dengan SOP (prosedur operasi standar) pengembangan yang kami berikan," kata peneliti Balitbang Kementerian LHK Lincah Andadari saat ditemui Media Indonesia selepas Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Peningkatan Produksi Sutra Alam, di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, standar yang ditentukan antara lain lokasi peternakan harus berada pada ketinggian 400-700 meter di atas permukaan laut.

Sejauh ini baru Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, yang memiliki ketinggian ideal untuk pengembangan peternakan ulat sutra. Dua wilayah lainnya, yakni Kabupaten Enrekang dan Soppeng, tidak berada pada lokasi yang optimum.

Padahal, kata Lincah, faktor iklim berperan hingga 37% dalam pengembangan ulat sutra. Selain itu, faktor pakan yang tepat sebesar 38%.

"Sementara itu, bibit lokal ataupun impor hanya berpengaruh 4% pada kualitas benang yang dihasilkan. Sayangnya bibit impor masih dianggap lebih bagus," ujarnya.

Oleh karena itu, tambahnya, diperlukan sosilisasi lebih masif dalam mengenalkan hasil penelitian ulat sutra. Hal itu sekaligus untuk menarik dunia usaha agar mau melirik bibit lokal.

Di Kabupaten Wajo, pengembangan ulat sutra selama ini hanya dilakukan petani lokal.

"Kami tidak bisa melakukan produksi masal (bibit) karena tupoksi (tugas pokok dan fungsi) kami hanya untuk penelitian," kata Lincah. (Ric/H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya