Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
Meski resistan terhadap program studi (prodi)dokter layanan primer (DLP) yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) tetap terbuka untuk berdiskusi dan merumuskan peta persoalan DLP ini.
Demikian kata Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis, kemarin, saat berkunjung ke Redaksi Media Indonesia.
Menurut dia, pihaknya berharap dapat berkontribusi pada penyehatan bangsa. Terlebih, saat ini amendemen UU Dikdok berada pada urutan teratas program legislasi nasional untuk dibahas pada Maret 2017.
Fasilitas kesehatan layanan primer diyakini bakal menjadi ujung tombak diagnosis dalam skema jaminan kesehatan. Dokter layanan primer, sebagai satu spesialis khusus, diperoleh dengan mengambil studi lagi selama 2-3 tahun.
Ide ini mendapat resistensi dari PB IDI. Menurut IDI, layanan primer sudah cukup diberikan dokter umum saja. “Seseorang dokter di Indonesia akan jadi dokter setelah kuliah 6 tahun, kemudian ikut program intensif dengan masa tunggu 6-8 bulan. Kalau jadi prodi, DLP ini studinya 3 tahun. Kalau tambah tiga tahun, sekitar 10-11 tahun pendidikan baru seorang dokter bisa praktik,” papar Marsis.
Menurut Marsis, dengan sistem pendidikan dokter umum saat ini, tak kurang dari 144 kemampuan dalam 4 level telah dikuasai dokter umum. Sementara itu, untuk menjadi DLP, mereka memerlukan 155 keahlian.
Sebanyak 11 keahlian lain yang belum termasuk pendidikan dokter umum, menurutnya, tidak perlu sampai dibuat prodi khusus. Sebagai gantinya, boleh saja dokter umum mengambil kursus tambahan.
Pasal lainnya, lanjut Marsis, ialah perkara biaya. Menurut perhitungan rata-rata, tiap tahunnya biaya pendidikan kedokteran per orang bisa mencapai Rp100 juta. Marsis menjelaskan dengan cara ini dokter yang dihasilkan justru makin enggan untuk mengabdi secara cuma-cuma, apalagi sampai ke pelosok daerah.
Alih-alih membuat prodi baru, Marsis berpandangan lebih arif jika anggarannya dialokasikan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang sudah ada. Ia mengakui sejak pendidikan kedokteran dibuka lebar pada 2012 lalu, masih banyak kampus berakreditasi B dan C yang belum memadai untuk menghasilkan dokter berkualitas. “Disparitas hasil didikannya besar sekali,” ungkapnya.
DLP jadi solusi
Namun, di sisi lain, DLP dianggap sebagai salah satu solusi dan sarana bagi mayoritas dokter umum yang kekurangan tempat dan ruang untuk berkembang.
“Jumlah dokter umum di Indonesia terus bertambah, tetapi jumlah penyakit juga bertambah dan rujukan ke rumah sakit tetap banyak. Itu terjadi karena dokter umum tidak teberdayakan dan cenderung terbengkalai,” ungkap dokter anggota tim DLP dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Sugito Wonodirekso, dalam audiensi dengan Komisi X DPR, di Senayan, Jakarta, kemarin.
Sugianto mengatakan saat ini ruang dan tempat untuk belajar bagi dokter umum sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan banyak kemampuan dokter umum yang seharusnya dapat menjadi salah satu dasar penanganan masalah kesehatan tidak berfungsi dengan maksimal.
“Dengan DLP, mereka jadi memiliki kesempatan besar untuk berkembang selain dari menjadi spesialis karena kapasitas sekolah spesialis di sini baru bisa menampung sekitar 30% dari total sekolah kedokteran umum,” ungkap Sugianto. (Pro/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved