Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
SUNAT atau khitan sudah menjadi kelaziman bagi masyarakat Indonesia. Hal itu tidak lepas dari pengaruh faktor agama dan sosial budaya. Sunat yang demikian biasanya dilakukan dengan penuh perencanaan, misalnya disesuaikan dengan jadwal libur anak, juga disertai dengan berbagai bentuk acara syukuran.
Namun, adakalanya sunat harus segera dilakukan untuk mengatasi penyakit tertentu yang dialami anak, atau disebut sunat karena indikasi medis. Pada kasus tersebut, sebaiknya orangtua tidak menunda-nunda terlalu lama untuk menyunatkan anak ke dokter meski sang anak masih bayi sekalipun.
Hal itu diungkapkan dokter dari pusat layanan sunat anak dan dewasa, Rumah Sunatan, Mahdian Nur Nasution. Ia mengatakan kerap kali orangtua bimbang ketika bayi laki-lakinya harus disunat karena mengalami kelainan tertentu. Misalnya, mengalami fimosis, yakni kelainan berupa penyempitan di ujung kulup sehingga kulup tidak bisa ditarik ke belakang.
"Fimosis cukup sering terjadi, data menyebutkan 20%-40% bayi laki-laki di bawah usia 6 bulan mengalami kelainan tersebut. Penyebabnya bisa karena faktor keturunan (genetik), bisa juga karena faktor kebersihan yang kurang terjaga," ujar Mahdian yang seorang dokter spesialis bedah saraf itu pada diskusi media di Jakarta, kemarin.
Terkait dengan faktor kebersihan, lanjut Mahdian, orangtua perlu mengetahui bahwa kulit kulup bagian dalam selalu memproduksi sejenis lemak berwarna keputihan yang disebut smegma. Smegma harus rutin dibersihkan, misalnya setiap kali memandikan anak. Tarik kulit kulup ke belakang dengan lembut, lalu bersihkan smegma yang menempel di ujung penis. Jika tidak dibersihkan, smegma yang terus menumpuk bisa menyebabkan perlengketan yang pada akhirnya menyebabkan fimosis.
Mahdian menjelaskan anak yang mengalami fimosis, ketika berkemih, air seninya cenderung tidak langsung memancar keluar karena tertahan ujung kulup yang menyempit. Urine tersebut akan berkumpul di ujung penis hingga ujung penis menggelembung. Ketika tekanannya sudah cukup tinggi, barulah urine tersebut bisa memancar keluar.
"Nah, pada kondisi demikian, umumnya selalu ada sisa air seni di ujung kulup yang tidak ikut keluar. Lama-kelamaan mengendap, mengkristal, dan menjadi sarang kuman. Kuman tersebut akan memicu infeksi. Awalnya infeksi terjadi di kulup bagian dalam, lama-lama merembet ke kepala penis lalu masuk ke saluran kemih hingga menyebabkan infeksi saluran kencing (ISK).
"Bayi atau anak yang terkena ISK biasanya mengalami gejala demam. Sayangnya, ketika anak demam, orangtua maupun dokter kadang melewatkan kemungkinan diagnosis ISK. "Kalau anak demam lebih sering dikaitkan dengan batuk pilek, radang tenggorokan. Anak dikasih antibiotik, sembuh, tapi sebulan kemudian demam lagi. Kalau seperti itu, pastikan penyebabnya mungkin ISK."Untuk mengatasi fimosis, lanjut Mahdian, anak perlu disunat. Dengan disunat, kulit pada bagian kulup dibuang sehingga tidak ada lagi bagian ujung kulup yang menyempit.
Selain fimosis, ada juga kelainan lain yang membuat anak perlu segera disunat (lihat grafik). Misalnya, parafimosis. Kelainan itu 'kebalikan' dari fimosis. Kulup yang tertarik ke belakang tidak bisa lagi ditarik ke depan sehingga kepala penis terbuka terus-menerus. Kondisi itu bisa terjadi ketika kulup pada penis yang mengalami fimosis ditarik paksa ke belakang.
"Masyarakat awam sering menyebut si anak habis disunat jin karena penampilannya memang seperti habis disunat. Kelainan ini perlu segera ditangani, tidak bisa menunggu-nunggu, karena membuat peredaran darah ke kepala penis terganggu. Lama-lama kepala penis bisa membusuk.
"Kelainan lainnya, hipopasdia, yakni posisi lubang kencing ada di batang penis bagian bawah, bukan di ujungnya. Kelainan itu perlu diatasi dengan operasi. Saluran kencing disambung hingga mencapai ujung penis. "Cara membuat sambungan itu menggunakan kulit kulup. Jadi, sekalian saja anak disunat, kulit kulupnya dipakai untuk membuat saluran kencing.
"Langkah yang sama juga diterapkan untuk mengatasi kelainan epipasdia, yakni lubang kencing ada di punggung penis. Hipopasdia dan epipasdia sebaiknya ditangani sebelum anak bersekolah. "Sebab kalau di sekolah, biasanya anak laki-laki suka lihat-lihatan saat kencing. Kalau kencingnya memancar ke bawah (pada hipopasdia) atau ke atas (pada epipasdia), bukan ke depan, anak bisa minder karena merasa dirinya berbeda."
Usia bayi
Mahdian menegaskan orangtua tidak perlu ragu ketika dokter menganjurkan anak disunat untuk mengatasi kelainan yang diderita sekalipun anak masih bayi.
"Bahkan secara medis, sunat sebaiknya dilakukan di masa bayi. Di Amerika dan Australia, sunat dilakukan pada bayi di bawah usia sebulan. Di Arab Saudi di usia sebulanan. Cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husain, disunat ketika baru berusia 14 hari," terang Mahdian.
Ia menerangkan sunat di usia bayi justru menguntungkan. Pertama, penyembuhannya lebih cepat karena di masa bayi pertumbuhan sel berjalan cepat. Kedua, sunat di usia bayi tidak akan menimbulkan trauma psikologis. "Sunat idealnya dilakukan sebelum bayi tengkurap agar pemulihannya tidak terganggu. Jadi sebelum 6 bulan.
"Terkait dengan pilihan teknik, Mahdian menyarankan teknik klem yang prinsip kerjanya mirip penjepitan tali pusar bayi. "Teknik klem pengerjaannya lebih cepat, higienis, mencegah infeksi silang dari anak lain, dan aman terkena air termasuk kalau bayi mengompol. Yang terpenting, untuk sunat, pilih tim medis yang profesional untuk meminimalkan risiko komplikasi seperti perdarahan, infeksi, serta tampilan pascasunat yang kurang baik," pungkas Mahdian. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved