Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
SEJAK Juni tahun lalu, Herman didiagnosis mengidap psoriasis. Penyakit itu membuat sebagian kulitnya berbercak merah. Lapisan kulit mati bertumpuk serupa sisik di area dengan bercak itu. "Awalnya saya terkena di wajah, kemudian pindah ke leher, dan berakhir di punggung. Timbulnya kambuh-kambuhan. Seperti sekarang ini nih, kening dan kepala bagian depan terdapat psoriasis. Di tangan kemarin ada, tapi sudah hilang," ujarnya sambil menunjuk bagian tubuh yang terkena psoriasis pada sesi seminar awam tentang penyakit tersebut di Jakarta, bulan lalu.
Ia mengaku awalnya sempat merasa terpuruk dengan penyakit yang muncul tiba-tiba menyerang kulitnya itu. Namun, lambat laun, ia bisa berdamai dengan gangguan tersebut. Satu hal yang dia syukuri, keluarga dan lingkungan tempatnya bekerja memahami kondisinya. Pengobatan rutin ia jalani. "Sejauh ini saya masih bisa produktif dan tidak mengalami hambatan dalam bersosialisasi," imbuhnya.
Lain lagi dengan Elfira. Ia yang mengidap psoriasis sejak bayi sempat mengalami perlakuan yang membuatnya kurang nyaman. "Sejak kanak-kanak sampai SMA, ada saja yang memberi perlakuan berbeda," ujarnya. Ia kini tengah berjuang menghadapi komplikasi berupa pembengkakan hati dan jantung. "Saya tidak dianjurkan untuk bekerja sampai prosiasis saya dapat dikendalikan kembali," tutur Elfira.
Apa yang dikisahkan Hendra dan Elfira menunjukkan pemahaman masyarakat akan psoriasis masih beragam. Sebagian sudah memberikan dukungan pada penderita, sebagian lagi masih menunjukkan sikap yang membuat penderita kurang nyaman. Tak bisa dimungkiri, penampilan kulit penderita psoriasis yang penuh sisik memang kurang menarik. Bahkan, banyak yang mengira penyakit itu menular sehingga penderita dijauhi.
"Padahal, ini bukan penyakit menular," tegas dokter spesialis kulit dan kelamin dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Gita Rahmayunita. Ia menjelaskan psoriasis merupakan penyakit autoimun. Ketika terjadi stimulasi pada sistem kekebalan tubuh, timbul reaksi peradangan di kulit yang menyebabkan pembelahan sel kulit berlebih. "Hal ini terjadi ketika sistem kekebalan tubuh mengirim sinyal yang salah dan mempercepat siklus pertumbuhan sel kulit," kata Gita.
Sama halnya seperti penyakit autoimun lainnya, penyebab penyakit itu tidak diketahui. Namun, faktor genetik memang berpengaruh. Orangtua yang mengidap psoriasis bisa menurunkan penyakit tersebut pada anak. Psoriasis, lanjut Gita, merupakan penyakit menahun (kronis) yang hilang timbul (kambuhan). Belum ada obat yang bisa menyembuhkan. Pengobatan yang dilakukan bersifat jangka panjang. Tujuannya untuk mengendalikan penyakit itu, seperti menekan kekambuhan dan meredakan gejala yang muncul.
"Psoriasis ditandai dengan munculnya bercak putih, perak, atau merah bersisik tebal di berbagai bagian tubuh. Tak hanya di kulit, psoriasis bisa menyerang kuku, bahkan sendi." Soal kekambuhan, kata Gita, kambuhnya psoriasis terkait erat dengan kondisi kejiwaan penderitanya. Stres membuat psoriasis kambuh. "Karena itulah, lingkungan sekitar harus mendukung penderita, bukan malah sebaliknya," pesan Gita.
Kelola stres
Dokter spesialis kesehatan jiwa, Heriani, juga menjelaskan hubungan timbal balik antara stres dan prosiasis. Sudah dibuktikan melalui penelitian ilmiah bahwa stres merupakan pemicu kambuhnya prosiasis. "Ketika seseorang stres, produksi hormon kortisol ditubuhnya akan meningkat. Kortisol inilah yang akan memicu peradangan sehingga memicu kambuhnya psoriasis atau memperparah psoriasis yang sedang kambuh," terangnya.
Di sisi lain, psoriasis juga dapat menyebabkan gangguan psikologis terhadap penderitanya, seperti membuat penderita menghindar dari hubungan sosial karena takut ditolak atau dinilai buruk karena penampilan mereka. Penderita psoriasis juga bisa mengalami depresi. Menurutnya, penyebab terbesar stres yang dialami penderita prosiasis bukan karena derajat keparahan penyakitnya, melainkan hambatan hubungan interpersonal yang dialami serta citra diri yang buruk. "Jadi kita harus memutus siklus stres. Itu bagian penting dalam pengobatan psoriasis," papar Heriani.
Senada, dokter spesialis kulit dan kelamin yang juga Ketua Psoriasis Nusantara Danang Tri Wahyudi menekankan pentingnya manajemen stres sebagai bagian dari pengobatan psoriasis serta dukungan lingkungan sekitar. “Psoriasis ini kan penyakit kulit yang bisa mengenai daerah mana saja. Kalau di daerah tertutup, ya, masih bisa ditutup dengan pakaian. Nah, kalau menyerang daerah terbuka seperti wajah dan telapak tangan, biasanya si penderita psoriasis ini malu. Jadi sebaiknya kita yang sudah tahu bahwa penyakit ini tidak menular, jangan menjauhi penderita psoriasis. Karena kalau dijauhi, beban kehidupan sosial penderita bertambah, jadi mudah stres dan memperparah penyakitnya. Adalah kewajiban kita juga untuk memberi tahu lingkungan sekitar kita mengenai penyakit psoriasis ini,” papar Danang yang juga pengidap psoriasis. (*/H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved