Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Jazz,Harmonika,dan Bahasa

Adiyanto
15/10/2015 00:00
Jazz,Harmonika,dan Bahasa
(MI/SUSANTO)
SEWAKTU penyelenggaraan Asian Games 1962 di Jakarta, Benny Hoedoro Hoed ikut mendaftar sebagai guide kontingen peserta perhelatan olahraga bangsa-bangsa se-Asia tersebut. Kala itu, dia baru pulang menempuh studi linguistik di Prancis. Sebagai orang yang mendalami ilmu bahasa, sarjana sastra Universitas Indonesia ini lantas bergelut seputar sarana bertutur manusia tersebut, termasuk menjadi penerjemah. Benny kini jadi guru besar linguistik di almamaternya, Universitas Indonesia.

Padahal, lelaki kelahiran Purwakarta, Jawa Barat, 27 Oktober 1936 ini mengaku tak pernah mengarahkan busur hidupnya ke titik tertentu. Dia membiarkan hidupnya menggelinding begitu saja. "Ya, saya ini kan asal menggelinding saja. Nasib manusia Tuhan yang bawa," ujar ayah dari musikus Anto Hoed ini, saat ditemui di rumahnya di kawasan Kemang, di penghujung September lalu. Benny dikenal sebagai pakar analisis wacana dan semiotik sebagai kajian budaya. Selain itu, ia pernah menjadi Ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) periode 2000-2007.

Tentang dunia penerjemahan, Benny mengatakan hal itu sebagai proses memahami budaya asing dan budaya sendiri. "Karena dalam proses penerjemahan harus memahami konteks bahasa dan kebudayaan bangsa penuturnya," ujar dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI ini. Oktober tahun ini, usia Benny menginjak 79 tahun. Di usia itu, dia masih rutin mengajar. Kegiatan itu, menurutnya, bukanlah beban.

Justru aktivitas tersebut dia manfaatkan sebagai upaya menambah kekayaan intelektualnya. "Saya ini makin tua makin kaya. Saya banyak belajar dari mahasiswa-mahasiswa yang saya bimbing. Bisa jadi, penelitian yang mereka lakukan belum saya ketahui, jadi makin kaya pengetahuan saya," ujarnya tersenyum. Profesor yang sudah meluluskan 10 doktor dan 20 magister ini tak pernah berjarak dengan mahasiswa yang usianya jauh lebih muda darinya.
Hal itu, kata dia, merupakan salah satu kunci sehatnya.

"Saya terlibat proses belajar. Mengajar kan belajar juga. Berdialog dengan mahasiswa-mahasiswa saya. Jadi membuka wawasan." Menurut Benny, mengajar merupakan kunci melawan pikun dan menjaga kesehatan intelektualnya. Meski sudah tidak bisa melakukan penelitian secara langsung yang mengharuskan blusukan ke pelosok-pelosok negeri, Benny masih terlibat dalam proses review hasil penelitian. Selain terus mengasah intelektualnya, Benny juga tetap menjaga kebugaran fisiknya. Namun, dia mengaku tak punya waktu khusus untuk berolahraga. Apalagi setelah dia mengalami cedera pada lututnya.

"Itu karena kesombongan saya sendiri. Jadi sehabis jalan, di bagian akhir jalan kaki, kemudian saya joging. Itu enggak boleh. Akhirnya tulang rawan lutut saya pecah," ungkap Benny. Oleh karena itu, dia berpesan, "Nasihat saya pada teman-teman, kalau umur sudah 50-an jangan joging lagi. Usia 45 pun jangan. Karena lutut ini kan penyangga." Lelaki yang pernah menjabat Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI di Paris periode 1979-1985 ini juga tidak memiliki resep makanan khusus untuk menjaga staminanya. Dia hanya menghindari makanan yang mengandung gula atau yang berkolesterol tinggi.
Benny mengaku tak punya resep makanan khusus agar tetap sehat. "Pernah saya dilarang enggak boleh makan ini dan itu, tapi malah badan saya kurus enggak karuan. Nah, secara enggak sengaja saya sudah enggak makan daging. Itu enggak terencana, berjalan begitu saja. Itu lo yang saya sebut tadi, hidup saya ini kok nggelinding saja," ujar bapak tiga anak ini terkekeh.

Musik dan kebugaran
Selain kegiatan belajar-mengajar, rupanya Benny juga hobi dan piawai bermusik seperti sang anak. Musik yang disukainya terutama jazz. "Dengan musik saya tidak pernah merasa tua," tegasnya. Kepada Media Indonesia Benny menunjukkan video musik koleksi pribadinya. Di video itu, ia bersama rekan sejawatnya yang dinamakan The Professor Band (karena anggotanya terdiri dari para profesor) tengah membawakan lagu Aryati, ciptaan Ismail Marzuki. Mereka berkolaborasi dengan penyanyi senior Rien Djamain. Di video itu, Benny memang tidak bernyanyi.

Ia justru menjadi pengiring rekan-rekannya melalui tiupan harmonika. "Rata-rata ya memang seumuran saya, mewakili generasi 50-an. Karena musik jazz waktu itu merajai Jakarta," tuturnya. Profesor yang juga ahli di bidang semiotika ini berpendapat dunia estetika atau seni tidak bertentangan dengan dunia intelektual, malah saling berkaitan. Musik, kata Benny, membuatnya berperilaku lebih halus. Musik baginya merupakan penyeimbang setelah berkutat dengan dunia akademik. "Musik juga merupakan sumber kebugaran intelektual saya."



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik