Headline
Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum. Kisruh royalti dinilai benturkan penyanyi dan pencipta lagu yang sebenarnya saling membutuhkan.
Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum. Kisruh royalti dinilai benturkan penyanyi dan pencipta lagu yang sebenarnya saling membutuhkan.
DUNIA energi kembali dikejutkan dengan temuan baru dari seorang fisikawan Amerika Serikat. Ia mengungkap bahwa limbah nuklir ternyata bisa didaur ulang menjadi tritium, isotop langka yang sangat dibutuhkan dalam teknologi fusi nuklir. Penemuan ini membuka peluang besar untuk menghasilkan energi bersih dan berlimpah di masa depan.
Bentuk radioaktif dari hydrogen, tritrium, tidak tersedia secara alami di Bumi, sangat mahal diproduksi, dan hanya bisa diperoleh dalam jumlah terbatas. Dalam pertemuan American Chemical Society (ACS) pekan ini, fisikawan Los Alamos National Laboratory, Terence Tarnowsky, mengusulkan bahwa tritium bisa diproduksi melalui pemanfaatan produk sampingan fusi nuklir, yang menggerakkan reaktor nuklir yang ada.
Fusi nuklir sendiri merupakan proses penggabungan atom untuk melepaskan panas. Reaksi yang paling umum adalah menggabungkan tritium dengan deuterium, isotop lain dari hidrogen, yang menghasilkan helium.
Namun, hingga kini, fusi belum berhasil diterapkan secara komersial karena para ilmuwan belum mencapai tahap pembakaran dalam skala besar, yaitu titik di mana energi yang dihasilkan melebihi energi yang dibutuhkan untuk memulai reaksi. Dan hambatan utama lainnya adalah biaya bahan bakar seperti tritium.
“Fusi nuklir memiliki potensi untuk menyediakan energi bebas emisi dan melimpah,” kata Tarnowsky kepada Live Science. “Namun, ketersediaan tritium saat ini terbatas dan biayanya tinggi, dan hal itu menjadi hambatan bagi kesuksesan teknologi ini.”
Memproduksi tritium secara efisien
Tarnowsky menjelaskan, generasi pertama reaktor fusi nuklir kemungkinan besar tetap akan bergantung pada tritium. Meskipun reaksi fusi lain, seperti penggabungan deuterium dan helium-3, secara teoritis dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi, tetapi reaksi tersebut membutuhkan suhu jauh lebih tinggi sehingga tidak efisien secara teknis maupun ekonomi.
Tantangan berikutnya adalah sifat tritium itu sendiri yang radioaktif dan berumur pendek. Setiap tahun, sekitar 5,5% pasokan tritium akan meluruh, sehingga penyimpanan jangka panjang tidak efisien. Untuk itu, dibutuhkan metode produksi baru yang lebih murah dan berkelanjutan.
Pembangkit nuklir konvensional saat ini masih mengandalkan fusi nuklir, di mana atom terbelah dan melepaskan energi. Namun, fusi menghasilkan limbah nuklir yang berumur panjang. Limbah tersebut mencakup uranium, plutonium, hingga isotop strontium dan yodium, yang membutuhkan waktu ratusan juta tahun untuk benar-benar meluruh.
Tarnowsky menawarkan solusi: memanfaatkan limbah nuklir yang masih radioaktif sebagai bahan dasar produksi tritium. Dengan bantuan akselerator partikel, atom-atom dalam limbah dapat dipecah melalui serangkaian reaksi hingga akhirnya menghasilkan tritium. Meski tidak menghilangkan limbah nuklir, tapi cara ini bisa memberi nilai tambah dengan mengubah sebagian limbah menjadi bahan bakar baru.
Menurut perhitungan awal, Tarnowsky memperkirakan penggunaan energi sebesar 1 gigawatt menghabiskan biaya puluhan juta dolar, dan sistem ini dapat menghasilkan sekitar 4,4 pon (2 kilogram) tritium per tahun. Jumlah tritium tersebut, jika digunakan untuk fusi nuklir, cukup untuk memasok listrik bagi puluhan ribu rumah tangga di Amerika Serikat selama setahun.
Tarnowsky juga memperkirakan desain ini bisa menghasilkan lebih dari 10 kali lipat isotop dibandingkan metode lain dengan menggunakan daya yang sama. “Prinsip dasar desain ini tidak baru, tetapi kemajuan teknologi terbaru dapat membuat metode produksi tritium ini jauh lebih efisien,” ujar Tarnowsky.
Ia lanjut menjelaskan bahwa saat ini, harga tritium mencapai sekitar 33 juta dolar per kilogram. Sementara itu, Amerika Serikat memiliki ribuan ton limbah nuklir yang mahal untuk disimpan dan berisiko terhadap lingkungan. Dengan teknologi ini, keduanya bisa saling melengkapi, limbah dimanfaatkan, tritium pun diproduksi lebih murah.
“Teknologi ini mungkin dilakukan hari ini, dan akan menjadi pergeseran paradigma yang sangat besar dalam hal memanfaatkan bahan bakar nuklir bekas yang sudah kita miliki, yang dimiliki oleh pemerintah,” ungkap Tarnowsky kepada Live Science.
Banyak detail yang masih harus dirinci sebelum Tarnowsky dapat membuat proposal lengkap tentang bagaimana rancangan ini dapat bekerja kedepannya.
Tarnowsky sendiri optimistis karena desainnya mendapat sambutan positif dari komunitas ilmiah, meskipun isu nuklir kerap sensitif pasca tragedi Chernobyl dan Three-Mile Island. “Zaman telah berubah,” ujarnya. (livescience/P-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved