Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengindikasi adanya pelanggaran perizinan pengusahaan hutan oleh pemegang izin di kawasan hutan. Salah satu contoh kasus yang baru terjadi di kawasan Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, di mana pelepasan kawasan hutan yang ditujukan untuk perkebunan tebu justru dijadikan kawasan sawit.
Kasus tersebut melibatkan PT Dinamika Graha Sarana (DGS) yang mendapat izin seluas 39.553 Hektare. Kenyataannya, di lapangan justru terjadi pembelahan lahan dan pembentukan perusahaan lain PT Samora Usaha Jaya (SUJ) yang meenanam sawit di kawasan seluas 27 ribu Hektare.
"Kami curiga kasus seperti ini terjadi di tempat lain, akan tiba saatnya perusahaan lain kami sidak," ucap Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian LHK San Afri Awang saat ditemui dalam pemaparan sidak terhadap monitoring, evaluasi dan operasi dan pemeliharaan restorasi gambut, di Jakarta, Rabu (30/11).
Dikatakan dia, sidak tersebut dilakukan dalam rangka pembentukan satuan tugas khusus yang berkaitan dengan operasi monitoring dan evaluasi gambut. Kasus PT DGS, merupakan salah satu contoh kecil pelanggaran perizinan di kawasan hutan.
Untuk itu, dia akan melakukan kembali evaluasi perizinan yang keluar sebelum moratorium perizinan baru di kawasan gambut dan mineral dikeluarkan pada 2012 lalu. "Kalau memang perizinannya adalah untuk tebu, ya jalankan tebu, kalau jadi sawit seperti ini, namanya sudah mengelabui," tambah San Afri.
Padahal, pelepasan kawasan hutan yang dilakukan pada saat itu bertujuan untuk mendongkrak produksi tebu lokal. Pasalnya, pada tahun itu pemerintah tengah kekurangan gula, alhasil 80 ribu hektare kawasan dilepaskan khusus untuk perkebunan tebu di OKI.
Lebih jauh dia menyatakan, lahan PT DGS dan SUJ tersebut merupakan lahan gambut dalam yang masuk ke dalam peta indikatif Badan Restorasi Gambut untuk dilakukan restorasi. "Jadi dia juga harusnya menunggu arahan dari BRG sebelum menanam, karena pada saat itu penanaman baru dimulai bulan Mei," papar San Afri.
Sementera itu, Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK Rasio Ridho Sani dalam kesempatan yang sama menyatakan, pemerintah akan mengumpulkan data mengenai aspek hukum yang dapat ditegakan dalam kasus ini. Menurut dia, tiga kesalahan yang terlihat dalam kasus tersebut adalah penyalahgunaan perizinan, keabsahana Anaslisis Dampak Lingkungan (Amdal), hingga kebakaran yang terjadi di lahan tersebut pada 2015 lalu.
"Segera akan kami kumpulkan aspek hukumnya, tapi secara kasat mata sudah terlihat bahwa ada pelanggaran di sini. Kalau semua bukti sudah cukup, kita akan bertindak secara hukum," ujar dia. OL-2
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved