Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
LEMBAGA Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mulai mengembangkan bahan baku obat antimalaria berbasis artemisin based combination therapy (ACT). Hasil pengembangan tersebut nantinya akan direkomendasikan sebagai pendamping antimalaria. Upaya tersebut dinilai penting mengingat beberapa wilayah di Tanah Air seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Maluku Utara masuk kategori zona merah penderita malaria.
"Artemisin ini bukan sesuatu yang baru. Di Thailand dan Malaysia juga sudah dikembangkan, tetapi baru LIPI yang berhasil menemukan cara untuk memotong rantai ekstraknya menjadi nanocrystal," ujar peneliti Pusat Kimia LIPI Yenni Meliana dalam Diskusi Publik Membahas Pengobatan Malaria Berbasis Riset Nano di Jakarta, selasa (29/11). Memperkecil ukuran kristal artemisin ke dalam cakupan ukuran nanocrystal akan memudahkan zat antimalaria tersebut larut dalam air. Itu menjadikannya lebih efektif karena bisa cepat diserap oleh tubuh.
Hanya saja, imbuhnya, artemisin baru akan bekerja sebagai pendamping antimalaria seusai melalui proses ekstraksi yang panjang hingga menghasilkan DHA. Untuk sampai pada tahap tersebut, dibutuhkan katalis yang harganya bisa mencapai Rp15 juta per 500 gram DHA. "Kita coba ganti katalisnya dengan matrix polymer seharga Rp35 ribu per kilogram. Hasilnya lebih efektif. Jadi, seharusnya ini bisa jadi solusi obat antimalaria untuk daerah-daerah endemik yang kondisi ekonominya lemah," tukas Yenni.
Kepala Puslit Kimia LIPI Agus Haryono menambahkan, sebelum sampai pada pemanfaatan, lebih dulu pembuatan nanocrystal artemisin akan dipatenkan sebagai temuan LIPI. Setelah itu, menurut rencana, bahan baku obat antimalaria artemisilin baru akan direkomendasikan pada 2017. Hak paten lainnya juga akan diusulkan bersama dengan PT Indofarma yang ikut bekerja sama untuk proses ekstraksi dengan gas freon sebagai pengganti larutan etanol. Dengan begitu kristal artemisin yang dihasilkan lebih bersih daripada kontaminasi warna hijau dari etanol.
Agus menjelaskan tugas LIPI ialah menemukan teknologi pengembangan bahan baku obat antimalaria. Secara utuh hasilnya akan dibahas dalam konsorsium bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes), industri, dan lembaga litbang lainnya. Kemenkes sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Menkes No 5/MENKES/PMK/I/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang Pedoman Tata Laksana Malaria menggunakan ACT. Sebagaimana dilaporkan, tahun lalu terdapat sekitar 413 kasus malaria di Indonesia.
"Kita sudah buat road map-nya sejak 2015. Mulai dari pembibitan sampai proses pengembangan itu menjadi tugas LIPI, sedangkan pemanfaatan oleh Kemenkes," terang Agus. Namun, ia menjamin, hasil penelitian yang telah mendapatkan penghargaan di bidang ilmu sains, teknologi, dan matematika dari L'Oreal-UNESCO for Women in Science National Fellowship Awards for Woman 2016 itu bisa mengatasi persoalan obat antimalaria dengan bahan baku kina yang kini sudah mulai resisten. (Mut/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved