Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Insomnia Picu Penyakit Kronis

Indriyani Astuti
30/11/2016 08:00
Insomnia Picu Penyakit Kronis
(thinkstock)

INSOMNIA merupakan gangguan tidur yang paling umum ditemui. Kebanyakan orang menganggap insomnia sebagai gangguan tidur biasa dan tidak berbahaya. Padahal, insomnia dapat memicu timbulnya penyakit-penyakit kronis. "Seseorang dikatakan mengalami insomnia jika ia sudah berbaring di tempat tidur, tetapi sesudah lebih dari 30 menit masih tidak terlelap, atau tidur tapi sering terbangun, bangun terlalu dini, ketika terbangun di tengah malam tidak bisa tidur lagi," ujar dokter dari Klinik Gangguan Tidur di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, dr Astuti SpS (K), dalam diskusi bertajuk Bahaya Insomnia dan Hubungannya dengan Penyakit Komplikasi Lainnya di Jakarta, pertengahan bulan ini.

Ia menjelaskan tidur merupakan proses biologis aktif. Saat kita tidur, tubuh memang terdiam, tetapi dalam tubuh terjadi produksi hormon-hormon tertentu. Di antaranya ialah hormon melatonin atau hormon tidur, juga hormon pertumbuhan yang bermanfaat untuk tumbuh kembang, serta hormon untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak.
"Jadi, kalau insomnia, enggak bisa tidur, pasti akan timbul kekacauan dalam sistem di tubuh. Lama-kelamaan, daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terkena penyakit," terang dokter spesialis saraf itu.

Berbagai penelitian menunjukkan insomnia yang membuat seseorang kurang tidur bisa meningkatkan risiko berbagai penyakit berbahaya, seperti obesitas, diabetes, jantung, hingga gangguan mental. "Saat seseorang kurang tidur, hormon grelin (pemacu nafsu makan) dan leptin (penekan nafsu makan) menjadi tidak seimbang. Leptin jadi lebih sedikit diproduksi daripada grelin," tambahnya. Pada kondisi demikian, nafsu makan akan meningkat hingga bisa menimbulkan obesitas, gangguan metabolik, gangguan metabolisme lemak, serta meningkatkan risiko diabetes melitus. Selain itu, lanjut Astuti, kurang tidur menimbulkan reaksi inflamasi (peradangan) dan degenerasi sel yang lebih cepat. Hal itu bisa memicu munculnya berbagai gangguan pada organ-organ tubuh, seperti penyakit jantung dan gangguan ginjal.

Sebuah metaanalisis menunjukkan risiko diabetes terendah ditemukan pada durasi tidur 7-8 jam. Durasi tidur yang pendek atau terlalu lama berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2. Gangguan tidur juga diketahui memiliki pengaruh kuat pada risiko penyakit infeksi. Durasi tidur yang pendek (kurang dari 5 jam) dan berkepanjangan (lebih dari 9 jam) berkorelasi dengan peningkatan risiko pneumonia. Pasien dengan durasi tidur pendek juga dilaporkan lebih rentan terkena flu.


Penelitian lain juga menunjukkan hubungan insomnia dengan terjadinya kanker. Sebuah studi kohort prospektif besar menunjukkan wanita dengan insomnia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kanker payudara. Karena itulah, Astuti mengingatkan, insomnia harus ditangani dengan baik. Penanganan itu meliputi sejumlah terapi, mulai terapi perilaku hingga penggunaan obat-obatan (lihat grafik).

"Terapi itu untuk insomnia jangka panjang atau kronis. Tim dokter akan melakukan pemeriksaan, mencari penyebabnya, dan menentukan jenis terapinya. Langkah awal mencakup upaya menemukan dan mengobati masalah psikologis dasar serta mengatasi kebiasaan yang dapat memperburuk insomnia. Untuk terapi obat-obatan, penggunaannya harus dengan rekomendasi dan di bawah pengawasan dokter." Untuk insomnia akut seperti karena sedang stres, jet lag, atau baru pindah ke lingkungan baru, atau karena suasana yang berisik, kondisi biasanya akan membaik tanpa perlu pengobatan.

Siklus tidur normal
Pada kesempatan itu Astuti menjelaskan tidur yang berkualitas berlangsung di malam hari, terdiri dari lima tahap. Pertama, sleep latency, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk terlelap, normalnya kurang dari 15 menit. Pada fase ini timbul kantuk berat, tetapi masih bisa mendengar sekeliling. Tahap kedua ketika seseorang yang sudah terlelap susah untuk dibangunkan, berlangsung sekitar 15 menit. Tahap ketiga dan keempat merupakan tahap tidur restoratif, yakni saat sel-sel rusak diperbaiki.

Pada tahap itu temperatur tubuh mulai turun, badan sudah rileks, dan mimpi mulai muncul. Jika pada tahap ini seseorang terbangun, tubuhnya belum terasa segar dan ia hanya akan mengingat sepotong mimpi. Pada tahap kelima, gelombang otak yang dihasilkan seperti gelombang otak pada saat bangun, tetapi lebih pendek dan terjadi mimpi. "Satu siklus tidur membutuhkan waktu 90-an menit sehingga dalam semalam siklus itu akan terjadi secara berulang. Tidur dapat dikatakan berkualitas jika semua tahapan di atas terpenuhi serta durasi total waktu tidur tercukupi. Untuk orang dewasa, kebutuhan tidur umumnya 5-8 jam. Salah satu tanda tidur berkualitas ialah saat bangun tidur tubuh terasa segar," terang Astuti. (*/H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya