Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Menuju Industri Tuna Lestari

Siti Retno Wulandari
26/11/2016 05:35
Menuju Industri Tuna Lestari
(ANTARA/AMPELSA)

PENGGUNAAN alat tangkap kapal jaring dan rumpon selama ini telah sering dikritik para pemerhati lingkungan.

Bentuk alat tangkap tersebut membuat bayi-bayi ikan (juvenil) bisa ikut tertangkap.

Dampak buruk alat tangkap itu pula yang terlihat dalam survei pada industri pengalengan tuna di Indonesia, Filipina, dan Thailand yang dilakukan Greenpeace Asia Tenggara baru-baru ini.

Ketiga negara ini dijadikan target survei karena merupakan pemasok utama tuna kaleng ataupun produk tuna ke pasar internasional, dengan total ekspor sebesar US$6 miliar pada 2015 (sekitar Rp81 triliun).

Perusahaan pengalengan tuna Indonesia yang mengikuti survei ini mencapai 15 perusahaan.

Sumardi Ariansyah, juru kampanye Laut Greenpeace Indonesia, mengatakan penggunaan kapal jaring (pukat cincin) dan rumpon memiliki dampak positif dan negatif secara bersamaan.

Di satu sisi, itu dapat memangkas waktu penangkapan karena bisa menjaring banyak ikan.

Di sisi lain, itu menghasilkan tangkapan sampingan (bycatch) yang berupa bayi-bayi ikan, terutama tuna albakora, tuna sirip kuning (yellowfin), kemudian juga ikan hiu.

Serikat Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukkan tuna albakora (Thunnus alalunga; albacore) dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares; yellowfin) dalam status hampir terancam (near threatened) dan tuna mata besar (Thunnus obesus; bigeye) berstatus rentan (vulnerable).

"Sangat mengkhawatirkan, hampir 100% perusahaan menyebutkan sumber tuna didapatkan dari kapal jaring dengan menggunakan rumpon yang dapat menangkap bayi-bayi (juvenil) tuna yellowfin, bigeye, bahkan hiu. Penggunaan rumpon semakin di luar kendali dan pemerintah Indonesia harus mengatasi masalah ini secara serius dan konsisten," kata Sumardi saat dihubungi, Selasa (22/11).

Penggunaan rumpon, imbuh Sumardi, memang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2014 mengenai jarak dan jumlah rumpon dalam satu kawasan.

Jarak antara rumpon yang satu dan lain tidak boleh kurang dari 10 mil laut dan tidak dipasang dengan cara pemasangan efek pagar (zigzag).

Namun, sering kali ditemukan rumpon ilegal yang berada di Laut Pasifik dan membuat pergerakan ikan terhalang sehingga tidak bisa masuk ke perairan dangkal.

Penggunaan alat tangkap menjadi salah satu dari tujuh kriteria yang ditetapkan Greenpeace International untuk memberikan peringkat pada industri pengalengan tuna.

Di Indonesia, perusahaan pengalengan di peringkat teratas ialah International Alliance Foods Indonesia (68.88, Fair), Deho Canning Co & Citra Raja Ampat Canning (62.15, Fair) dan Samudra Mandiri Sentosa (58.59, Fair).

Ini berarti tidak ada perusahaan pengalengan tuna Indonesia yang masuk kategori good (nilai 70-100).

Namun, Greenpeace juga tidak memublikasikan soal ada atau tidaknya perusahaan yang masuk kategori failed (nilai 0-39).

Kriteria penilaian didapat pihak Greenpeace melalui sebaran kuesioner kepada para pelaku industri.

Kriteria itu ialah keterlacakan, keberlanjutan, legalitas, tanggung jawab sosial, kebijakan asal bahan baku, transparansi dan informasi konsumen, serta inovasi untuk perubahan.

Selain penggunaan alat tangkap, penyertaan informasi ketelusuran produk juga masih menjadi kendala.

"Kami ingin perusahaan besar ini bisa menjadi pionir, industri yang berkelanjutan dari berbagai sisi. Memang harus dipikirkan bagaimana caranya penyertaan informasi ketelusuran, mungkin dengan pemberian barcode, konsumen pun tahu ikan jenis apa, di mana ditangkap, menggunakan alat tangkap apa, dengan kapal apa," tukasnya.


Terbuka untuk solusi jitu

Ketua Umum Asosiasi Industri Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Adi Surya mengatakan penggunaan kapal jaring dan rumpon menjadi jawaban untuk keamanan bahan baku.

Sementara itu, jika menggunakan metode pancing, waktu produksi akan lebih lama.

Meskipun menggunakan kapal jaring dan rumpon, Adi mengaku tetap mengikuti peraturan pemerintah terkait dengan ukuran mata jaring sehingga ikan-ikan bayi pun masih dapat lolos dari jaring.

Jika menggunakan metode pancing (pole and line), Adi beralasan nelayan sulit memilah akan mendapatkan yang besar atau yang kecil.

Namun, jika penggunaan jaring dan rumpon masih dianggap tidak berkelanjutan, ia pun terbuka untuk solusi lain yang lebih jitu dan menguntungkan rakyat Indonesia.

"Industri pengalengan ikan itu menyerap banyak tenaga kerja, untuk tuna, Indonesia memiliki 19 pabrik dengan total produksi dalam satu sif 365 ribu ton yang separuhnya dihasilkan tujuh pabrik besar di Bitung, Sulawesi Utara. Kami sudah melakukan industri yang berkelanjutan, kalau tidak mana mungkin produk kita diterima pasar internasional," ujarnya.

Sementara itu, aspek keterlacakan, menurutnya bisa dilihat dari kepemilikan sertifikat hasil tangkap.

Untuk ekspor, keteracakan sudah menjadi hal mutlak karena pasar internasional sudah menerapkan standar yang ketat dan hal itu menjadi aspek yang tetkait dengan kelestarian industri.

Di dalam negeri, yang didominasi olahan ikan sarden, diakui Adi, produk tersebut belum memiliki sertifikat.

"Kalau sarden itu lebih banyak tangkapan di Selat Bali, nah di sana saja sudah ada aturan mengenai berapa jumlah kapal yang boleh beroperasi, itu cerminan sifat perikanan yang berkelanjutan," tuturnya.(M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya