Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Agar tidak cuma Jadi Pasar Obat

Suryani Wandari
24/11/2016 05:48
Agar tidak cuma Jadi Pasar Obat
()

INDONESIA merupakan salah satu negara dengan biodiversitas flora dan fauna terbanyak kedua di dunia setelah Brasil. Dengan berkah keanekaragaman hayati tersebut, tentu saja negeri ini memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang bisa dijadikan obat, yang dalam dunia kesehatan disebut herbal.

Atas dasar tersebut, Raymond R Tjandrawinata PhD MS MBA kembali ke Indonesia setelah empat tahun berkarier di Amerika Serikat dengan posisi terakhir sebagai Senior Regional Medical Associates of Smith Kline Beecham Pharmaceutical untuk mengembangkan dan memperkaya obat herbal yang di Indonesia melalui keahliannya dalam bidang farmakologi. Tawaran untuk menjabat Medical and Training Manager PT Dexa Medica Group, salah satu perusahaan farmasi ternama Indonesia, menjadi langkah awalnya.

Kini, dengan posisi sebagai peneliti dan biochemist/molecular pharmaco­logist director, serta Scientific Affairs and Business Development of PT Dexa Medica, Raymond memimpin timnya mengolah dan mengembangkan bahan alam Indonesia. “Kita kaya tanam­an obat yang jika diolah dengan baik akan menjadi penyelamat jiwa dan kesehatan banyak orang, baik di Indonesia maupun warga dunia lainnya,” kata Raymond.

Memiliki 24 paten di bidang farmakologi menjadikannya sebagai salah satu inovator bidang kesehatan di Indonesia. Riset yang dilakukan timnya itu bergelut pada berbagai eksperimen untuk mendapatkan jenis obat herbal baru yang berasal dari tumbuhan di Indonesia.

Pada tahun ini Raymond berhasil mendapatkan penghargaan Habibie Award atas pengabdiannya di kategori ilmu kedokteran dan bioteknologi. Sebagai pendiri sekaligus Direktur Pengembangan dan Direktur Eksekutif Dexa Laboratories of Biomoleculars Sciences (DLBS), setidaknya terdapat tujuh produk farmasi hasil riset DLBS yang telah digunakan para dokter di Indonesia dan juga internasional.

“Habibie Award itu adalah mengenai penemuan kita, kita melakukan penahbisan dari her­bal-herbal Indonesia yang kita lakukan. Jadi, mereka melakukan banyak penyelidikan terhadap apa yang kita lakukan. Hasil penelitian yang saya lakukan sejak saya kembali ke Indonesia, yaitu dari 2000. Jadi, sekarang sudah 16 tahun. Di tempat be­kerja saya saat ini, saya mengusulkan pembuatan laboratorium pada 2005 waktu itu. Sampai 2016, saya fokus untuk membuat satu laboratorium drug discovery atau penemuan obat baru,” ungkap Raymond.

Kiprahnya itu jelas istimewa karena selama ini kebanyakan perusahaan farmasi nasional dan korporasi global yang beroperasi di Indonesia hanya meracik obat-obatan menggunakan bahan baku yang diimpor dari Tiongkok, India, dan negara produsen lainnya.

“Tapi kita ingin mencari bahan baku API atau pharmaceutical ingredients Indonesia, dan saat itu belum ada satu pun. Nah, kita waktu itu memberanikan diri karena Indonesia itu begitu kaya sumber dayanya, dengan 30 ribu tanaman yang bersifat obat-obatan yang telah divalidasi oleh pemerintah. Tapi kita hanya punya sedikit obat herbal. Kalau jamu saat itu ada 4.000 jenis, tapi kita ingin obat yang dihasilkan di laboratorium dan standar farmakologi yang baik,” tambahnya.


Pencapaian Indonesia

Indonesia, kata Raymond, memiliki 36 obat herbal tersandar termasuk jamu. Selain itu, ada pula beberapa fitofarmaka yang empat di antaranya diriset lembaga penelitian yang di­pimpin Raymond. Fitofarmaka sendiri merupakan status tertinggi dari bahan alami sebagai obat.

Sebuah herbal terstandar dapat dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah melalui uji klinis pada manusia. Dosis dari hewan coba dikonversi ke dosis aman bagi manusia. Dari uji itulah dapat diketahui kesamaan efek pada hewan coba dan manusia. Bisa jadi terbukti ampuh ketika diuji pada hewan coba, tetapi belum tentu ampuh juga ketika dicobakan pada manusia. Uji klinis terdiri atas single center yang dilakukan di laboratorium penelitian dan multicenter di berbagai lokasi agar lebih objektif. Setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat mengklaim produknya sebagai obat. Salah satu fitofarmaka hasil riset tim Raymond ialah fitofarmaka Stimuno, untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

“Selain penelitian, kami juga menulis paper global yang kemudian menghasilkan indeks atau rangking dari ilmuwan seluruh dunia berdasarkan jumlah paper yang disitasi international journal. Saya memiliki 16 jurnal sehingga ada di peringkat 549, tapi dari berbagai macam disiplin ilmu ya. Dari situ kemudian paten. Saya punya 24 paten, 4 di Indonesia dan 20 paten internasional,” ujar Raymond.

Kendati paten-paten itu terdaftar atas namanya, kerja tim dan dukungan perusahaan yang menaunginya menjadi faktor penentu. “Riset sains, apalagi fitofarmaka membutuhkan banyak orang dalam prosesnya dan tidak memungkinkan dikerjakan oleh seorang diri,” kata Raymond.

Bidang riset yang digelutinya, kata Raymond, memang terbilang sangat kompleks dan membutuhkan naungan institusi untuk membiayai atau memfasilitasi proses penelitiannya. Namun, nama peneliti yang memimpin riset memang tetap diakui eksistensinya.

Saat ditanyakan mengapa perusahaannya berani mengambil keputusan untuk membiayai seluruh riset yang dilakukan, Raymond menjawab, kecintaan kepada Indonesia dan motivasi untuk memaksimalkan potensi alamnya jadi alasan utama. “Kedua, jelas dengan upaya ini kita dapat memastikan bahwa obat-obat Indonesia terbuat dari bahan alam Indonesia. Belum ada perusahaan lain yang melakukan ini sampai keluar penelitian dasar, penelitian aplikasi, masuk ke Badan POM, masuk ke uji klinik dengan para dokter Indonesia, sampai masuk ke pasar, tidak pernah ada sampai saat ini. Sampai saat ini yang mau dan mampu ialah kami,” kata Raymond.


Kembali ke Indonesia

“Saya dulu empat tahun bekerja di perusahaan farmasi di Amerika Serikat. Multinational company Glaxo Smith Kline waktu itu. Kalau saya di Smith Kline Beecham-nya. Jadi, saya lulus, saya bekerja di sana dan saya pulang ke Indonesia pada 2000. Pada waktu itu saya sudah bilang ke pendiri perusahaan ini, kita bisa mengembangkan dengan bahan alam Indonesia,” kata Raymond.

Karena terkendala oleh krisis ekonomi 1998, baru pada 2005 laboratorium dirintis.
Investasi yang mesti digelontorkan pun tak sedikit. “Gini aja, untuk riset paling sedikit Rp200 miliar dan itu masih operasionalnya saja. Untuk labnya sendiri saya enggak bisa bilang karena lab itu nambah alat setiap tahun atau mengganti. Alatnya sendiri itu diimpor semua karena di Indonesia belum ada yang buat,” kata Raymond. (*/M-1)

RAYMOND R TJANDRAWINATA PHD.,MS.,MBA



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya