Yus Datuak Parpatiah Berguru pada Alam,Berkarya tanpa Beban

MI/Hendra Makmur
01/10/2015 00:00
Yus Datuak Parpatiah Berguru pada Alam,Berkarya tanpa Beban
(Hendra Makmur )
YUS Datuak Parpatiah, 76, tidak terlihat letih saat menerima kedatangan Media Indonesia di Bukittinggi, Minggu (6/9). Padahal, dia baru dua hari usai menempuh perjalanan cukup panjang dari tempat tinggal di Jakarta menuju Jambi, dilanjutkan perjalanan darat menuju Kota Bukittinggi, Sumatra Barat. "Silaturahim itu obat pikun. Bisa mengobrol seperti ini adalah obat bagi saya. Bila agak demam, biasanya kedatangan kawan untuk mengobrol, membuat demam langsung hilang," kata dia sambil tertawa. Yus Datuak Parpatiah dikenal masyarakat Sumatra Barat di kampung halaman hingga ke perantauan karena berbagai karya rekaman berbentuk drama, komedi, monolog, dan petuah adat.

Sejak 1980 hingga 2015, ia sudah menghasilkan 130 judul. Karya-karya itu, antara lain, Di Simpang Duo, Maniti Buiah, dan Kasiah tak Sampai yang berbentuk drama, Rapek Mancik dan Bakaruak Arang yang merupakan karya komedi, Pitaruah Ayah, Baringin Bonsai, Diskusi Adat, Panitahan Baralek, Kepribadian Minang, serta Pitaruah Pangulu yang berbentuk  petuah adat dan juga dua film yang diproduksi TVRI. Mulai 1980 hingga dekade 1990-an, karya-karya tersebut beredar dalam bentuk kaset.

Puluhan hingga ratusan ribu kaset tiap karya Yus menyebar ke berbagai pelosok Ranah Minang, bahkan ke komunitas orang Minang di seluruh Indonesia dan berbagai negara. "Saya tak tahu persis berapa jumlah penjualan setiap kaset. Kontrak saya dengan perusahaan rekaman, sistem 'jual habis' sejak dulu. Jadi tak ada royalti meski kaset laris," ungkap Yus. Yus Datuak Parpatiah terlahir dengan nama Yusbir dari pasangan Abdul Jalil dan Syafiyah di Nagari Sungai Batang, Agam, Sumatra Barat, pada 7 April 1939. Nagari yang terletak di pinggir Danau Maninjau itu juga merupakan kampung kelahiran ulama besar Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).

Masa kecil Yus dihabiskan di kampung halaman sampai ia menamatkan SD dan SMP, masing-masing pada 1955 dan 1958. Setamat SMP, Yus diajak sang kakak yang merantau ke Sumatra Utara pindah ke daerah itu. Yus menamatkan sekolah di SMA Tanjung Balai Asahan pada 1961. Setelah itu, layaknya banyak orang Minang yang merantau, Yus memulai berwiraswasta dengan berdagang. Bukan saja di Sumatra Utara, Yus muda juga melanglang buana ke Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, hingga akhirnya hijrah ke Jakarta pada 1976. Dalam rentang masa itu pula, Yus dipercaya sebagai panungkek (wakil pemimpin) dengan gelar adat Datuak Rajo Mangkuto pada 1965.

Pada 1967, Yus menikah dan kemudian diangkat menjadi pangulu (pemimpin suku) suku Chaniago dengan gelar Datuak Parpatiah pada 1970. Seusai menikah dan menjadi datuak, Yus kembali merantau untuk mencari nafkah. Namun, ia tetap punya jadwal pulang ke kampung untuk mengurus kaum suku Chaniago, Nagari Sungai Batang, yang ia pimpin.
"Semuanya saya coba, sejak berdagang keliling, kaki lima, punya toko, sampai konveksi," ujarnya. Pada 1979, ia membuka usaha konveksi di Jakarta. "Saat itu, saya punya beberapa karyawan. Kami bekerja sesuai pesanan. Bahan dikirim, kami jahit, dan kemudian antar kepada pemesan." Ketika pesanan sedang sepi dan karyawan tak punya kerjaan, Yus melontarkan ide yang begitu jauh dari dunia konveksi. Ia menulis skenario drama dengan tulisan tangan dan mengajak karyawan konveksi latihan. "Saya bukan berasal dari keluarga seniman. Tidak berpengalaman dan tak pernah memperoleh pendidikan seni. Namun, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk membuat drama," kisahnya.

Meski demikian, karyawan konveksi Yus menyambut ide itu. Mereka mulai latihan setiap hari ketika pesanan sepi. Merekalah yang menjadi cikal bakal Grup Balerong yang dipimpin Yus hingga kini. Saat melihat ketekunan mereka berlatih, seorang kenalan Yus, Haji Jhon, yang berdomisili di Jambi menyarankan Yus untuk rekaman. "Kami kemudian menawarkan pembuatan rekaman drama kaset pada perusahaan rekaman terkenal di Padang," ujarnya. Sayang, tawaran itu ditolak. Dunia rekaman di Sumatra Barat ketika itu memang hidup. Namun, umumnya diisi musik pop Minang atau seni tradisi klasik seperti saluang atau rabab. "Drama Minang dinilai tak laku untuk dijual." Yus tak putus asa.

Atas bantuan Haji Jhon, ia mencoba menawarkan pada Globe Record di Jakarta untuk merekam drama itu. Chau An, pemilik studio, semula ragu.  "Apalagi dia tak mengerti sama sekali drama berbahasa Minang itu," kata Yus. Namun, Globe Record akhirnya bersedia merekam setelah Haji Jhon memberi jaminan akan membeli 2.000 kaset. "Kami hanya dibayar Rp1 juta untuk karya pertama yang beredar pada Januari 1980 itu," ujar Yus. Ternyata, drama karya pertama Grup Balerong berjudul Di Simpang Duo yang bercerita tentang konflik mamak (paman) dengan kemenakan (keponakan) tentang penerapan adat Minangkabau disambut meriah di Ranah Minang.

"Setidaknya 22 ribu kaset, kami dengar laris di pasar. Bahkan, di Padang kabarnya ribuan kaset juga dibajak," kata Yus. Satelah sukses karya pertama, Globe Record menunggu-nunggu karya Grup Balerong berikutnya. "Untuk karya kedua, Maniti Buiah pada 1981, perusahaan rekaman sudah membayar kami Rp3 juta," ujar Yus. Dengan keberhasilan pula di Jakarta, perusahaan rekaman di Padang yang semula menolak karya Yus meminta ia merekam karya berikutnya di Padang. Yus meminta perusahaan itu menunggu karena ia merasa tak etis memutus kontrak begitu saja dengan Globe Record. Permintaan dari Padang itu membuat Yus menentukan pilihan, salah satu anggota kelompok itu memisahkan diri dari Balerong. Ia mendirikan Grup Rumah Gadang 1983 dan memenuhi tawaran perusahaan rekaman itu. Namun, ia hanya sempat merekam beberapa drama di Padang dan kemudian kehabisan ide.

Guru adat
Datuak Parpatiah tak mempersoalkannya. Ia terus berkarya dan makin kreatif. Setelah drama serius, ia masuk ke drama komedi. Komedi Rapek Mancik yang mengangkat budaya demokrasi di Ranah Minang sekaligus menyindir perilaku sebagian orang yang tak komit dengan kesepakatan, juga laris di pasaran. Karakter Sutan Rajo Angek, seorang pria Minang asal Danau Maninjau yang emosional, sekaligus kocak dan kadang sok tahu, lekat dengannya. Julukan Sutan Rajo Angek sebagai 'malaikat maut' dari tepi danau yang mengaku pemberani tapi takut pada anjing tersebut lantas menjadi buah bibir dalam pembicaraan di kedai kopi.

Era 2000-an, suami Ermaini dan ayah dari Elivia, Ervan, dan Ellen itu lebih banyak merekam monolog. Ia berpidato tentang berbagai masalah dan memberikan solusinya lewat ketentuan adat, mulai nasihat untuk anak dalam mengarungi hidup, nasihat jelang perkawinan, nasihat untuk para calon pangulu, dan bahkan juga mengkritik tentang minimnya  kepemimpinan yang berkarakter adat di Ranah Minang. Pidato yang disampaikan dengan pepatah dan petitih Minang itu menarik sekaligus renyah. Ia bisa menjelaskan berbagai aturan dan falsafah adat dengan bahasa yang sederhana.

Hal itu membuat Yus secara tidak langsung menjadi guru adat bagi banyak orang Minang. "Saya hanya berguru pada alam. Rajin menyimak ketika muda, menganalisis sendiri dan membandingkannya dengan kondisi saat ini," kata dia. Kini, di usia hampir 77 tahun, Yus masih berkarya. Ia bolak-balik Jakarta-Bukittinggi untuk menyelesaikan VCD monolog yang sebelumnya direkam dalam bentuk suara. "Sekarang kan zaman audio visual, menurut perusahaan rekaman perlu dibuatkan dalam bentuk video," ujarnya.

Bisa tetap sehat dan terus kreatif di usia yang tak lagi muda, menurut Yus, disebabkan ia tak punya beban dan mencintai pekerjaan. "Saya berusaha menghindari target dalam hidup. Hidup, menurut saya, biarkan mengalir saja seperti air. Kita juga harus banyak berbaik sangka, baik kepada keluarga, lingkungan, maupun masyarakat. Itu akan  meringankan beban batin," kata dia. Untuk menghindari pikun di usia uzur, menurut Yus, otak harus tetap berputar.

"Kita tidak boleh seperti orang pensiun yang mati. Selama ini dihormati orang, sekarang tidak. Harus banyak bersilaturahim dan punya banyak kawan. Tak boleh iri melihat orang senang atau susah melihat orang berhasil. Itu penyakit. Kita sudah tahu sebenarnya. Praktiknya yang susah." Setelah berjuang dalam hidup, menurutnya, manusia harus menerima apa adanya. "Cuma, semangat juang jangan lumpuh. Setelah kita jalani baru tawakal. Saya sudah mencoba apa pun sebelum akhirnya menemukan dunia di bidang yang saya geluti hingga kini."



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya