Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
PENGGUNAAN alat kontrasepsi pada program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia bisa dibilang sudah tinggi. Namun disayangkan, akseptor yang didominasi perempuan itu belum dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup untuk membuat keputusan ber-KB berdasarkan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP).
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat penggunaan MKJP menurun. Hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukan, dari total peserta KB pada 2003 sebanyak 14,6% turun menjadi 10,9% pada 2007 dan kembali turun menjadi 10,6% pada 2012.
Rendahnya penggunaan MKJP menjadi penyebab stag-nasi angka kelahiran selama satu dekade terakhir. Stagnasi berangkat dari kondisi mayoritas peserta KB modern saat ini masih menggunakan alat kontrasepsi jangka pendek (non-MKJP), seperti pil dan suntik, yang rawan putus KB (drop out/DO).
Selain itu, angka kegagalan metode suntik saat ini masih cukup tinggi, yakni 6 per 100, yang artinya 6 dari 100 pengguna tetap mengalami kehamilan setelah menggunakan metode suntik. Jumlah peserta DO itu menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
Secara umum, sekitar 27% pemakai kontrasepsi non-MKJP berhenti memakai alat kontrasepsi setelah satu tahun pakai. Tingkat putus pakai alat kontrasepsi tertinggi ialah pil 41%, kondom 31%, dan suntik 25%.
Kasus putus pakai itu menjadi salah satu faktor penyumbang kejadian kehamilan tidak diinginkan, aborsi, dan kematian ibu melahirkan di Indonesia. Karena itu, sudah saatnya peserta KB sekarang digiring untuk menjadi pengguna MKJP yang lebih efektif.
Project Director of ICMM (Improving Contraceptive Method Mix) Program Indonesia Yunita Wahyuningrum membenarkan perlunya intervensi agar akseptor merevitalisasi program KB mereka dengan meningkatkan ragam kontrasepsi.
“Kita mendukung upaya pemerintah untuk merevitalisasi program KB. Hal tersebut juga untuk menekan angka kematian dan meningkatkan kesehatan ibu,” ucapnya di Jakarta, kemarin.
Menurut data awal ICMM, lebih dari separuh pasangan usia subur di Indonesia yang ingin membatasi kelahiran (tidak menambah jumlah anak) masih bergantung pada metode jangka pendek seperti pil dan suntik. Akibatnya, terjadi ketidaksesuaian antara metode yang dipakai dan tujuan kesuburan seseorang.
Intervensi
Untuk menyukseskan prog-ram KB, ICMM mengadvokasi pemerintah kabupaten agar lebih memprioritaskan prog-ram KB dan mengalokasikan anggaran yang memadai. Se-telah itu, menggerakkan masyarakat agar memahami KB itu sendiri. “ICMM juga meningkatkan pelatihan teknologi kontrasepsi terkini (contraceptive technology update/CTU) bagi para bidan agar mereka mampu memberi layanan berbagai metode KB.
Studi yang dilakukan ICMM menunjukkan secara keseluruhan setelah diadakan advokasi, perempuan menikah di kabupaten yang diintervensi lebih mungkin (1,12 kali lebih tinggi di Jatim dan 1,31 kali lebih tinggi di NTB) menggunakan MKJP ketimbang di kabupaten kontrol yang tidak menunjukkan perubahan berarti. Kenaikan itu signifikan secara statistik, yang berarti perempuan di kabupaten ICMM lebih mungkin menggunakan MKJP setelah intervensi advokasi.
“Hasil program ICMM ini sungguh berarti. Hasil ini menunjukkan bahwa advokasi efektif untuk menggairahkan kembali program KB, meningkatkan ragam metode, dan memenuhi kebutuhan KB para wanita di seluruh Indonesia secara lebih menyeluruh,” pungkas Yunita. (*/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved