POPULASI badak sumatra (Dicerorinus sumatrensis) di kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) terancam punah lantaran cacat genetis. Potensi cacat genetis terjadi karena dari total 30 ekor yang ada dikawasan itu, mayoritas berkelamin jantan.
"Hal itu menyebabkan rasio seksual tidak proporsional. Karena besar kemungkinan badak betina kawin dengan jantan yang merupakan anak mereka sendiri," sebut Koordinator Lapangan Rhino Protecting Unit TNWK, Rahman, kemarin (20/9/2015).
Perkawinan sedarah (incest) menyebabkan resiko inbreeding atau kesalahan genetis akibat perkawinan yang tidak semestinya semakin meningkat.
Saat ini, lanjut Rahman, sudah terlihat beberapa anak badak yang mengalami kecacatan genetis. Misalnya, hewan tersebut mengalami ketidaksempurnaan di bagian kuping, hidung, atau ekor.
Agar tidak terjadi incest, petugas Rhino Protecting Unit TNWK melakukan pengawasan agar jangan sampai badak betina kawin dengan anaknya.
Sayangnya, hal tersebut hanya dapat dilakukan di dalam kandang, bukan terhadap badak liar yang berada dalam kawasan TNWK. Sementara itu, untuk di luar kandang, faktor luas kawasan TNWK yang mencapai 125.621 hektare menjadi permasalahan.
"Agak sulit untuk mengawasi badak dalam area selu-as ini. Kami cuma bisa mengandalkan camera trap untuk mengamati," terang Rahman.
Terlebih lagi, badak memiliki sifat pemalu. Artinya, mereka akan memilih bersembunyi jika merasakan keberadaan manusia. Hal itu menyebabkan petugas kesulitan mengamati badak secara langsung.Badak sumatra sendiri ialah satu-satunya badak asia yang memiliki dua cula.
Badak sumatra juga dikenal memiliki rambut terbanyak jika dibandingkan dengan seluruh subspesies badak di dunia sehingga sering disebut hairy rhino (badak berambut).
Menurun Sementara itu, berdasarkan data dari World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, kebakaran lahan, ekspansi lahan perkebunan, penebangan ilegal, dan perburuan menjadi isu utama pelestarian badak di seluruh Sumatra.
Saat ini, dari sembilan kantong populasi badak sumatra di Sumatra dan Kalimantan, hanya tersisa empat kantong. Hasil studi terakhir WWF menunjukkan sudah terjadi kepunahan lokal, seperti di Taman Nasional Kerinci Seblat, yang sejak 2008 sudah tidak ditemukan lagi badak sumatra.
Data terakhir, Population and Habitat Viability (PHVA) melansir populasi badak sumatra diperkirakan tersisa sekitar 100 ekor. Mereka hidup di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selayan, dan Taman Nasional Way Kambas serta satu kantong populasi yang baru teridentifikasi pada 2013 di Kalimantan Timur.
Sementara itu, populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang saat ini hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) hanya tersisa 60 ekor. Oleh karena itu, Direktur Konservasi WWF Indonesia Arnold Sitompul menyatakan perlu dicarikan rumah baru bagi badak jawa sebagai upaya konservasi bagi hewan terancam punah tersebut. (H-4)