Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Lulus SMP, Anak TKI di Sarawak Putus Sekolah

MI
25/10/2016 10:38
Lulus SMP, Anak TKI di Sarawak Putus Sekolah
(Pintu lintas batas Tebedu, Sarawak Malaysia---ANTARA/Eric Ireng)

SETIAP warga negara Indonesia, sesuai dengan amanat UUD 1945, berhak memperoleh pendidikan layak, tak terkecuali anak tenaga kerja Indonesia (TKI), yang bekerja di perkebunan Malaysia. Namun, memperoleh kesempatan itu tidaklah mudah.

Buktinya masih ada ratusan anak TKI yang bekerja di sejumlah kebun sawit di Sarawak, Malaysia, yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA.

"Kami sudah ada kelulusan dua kali, tetapi sayangnya mereka masih di ladang karena orangtuanya masih lama bekerja di ladang sawit," ujar seorang guru di Community Learning Center (CLC) Lavang Sarawak, Nurdin Citro Finsae, di sela-sela acara Kompetisi Sains dan Seni 2016 di Johor Bahru, kemarin (Senin, 24/10). CLC merupakan tempat kegiatan belajar yang tersebar di ladang-ladang Sarawak dan Sabah.

Menurut Nurdin, kalau ingin melanjutkan sekolah ke SMA, anak-anak TKI harus pulang ke Indonesia, padahal anaknya tidak bisa pulang sendiri ke Indonesia. "Padahal kita ingin ada perbaikan nasib. Inginnya tahun depan ada guru yang dikirim atau pemerintah buka sekolah SLTA di Sarawak," harapnya.

Nurdin sendiri sebagai guru di CLC Sarawak tidak digaji pemerintah (Indonesia), tapi mendapat bayaran dari perusahaan sawit sebagai karyawan, sebesar RM35 per hari atau RM1.200 per bulan (Rp3,6 juta). Oleh perusahaan, Nurdin dan empat temannya sudah tidak diizinkan bekerja di ladang. Mereka diminta fokus mengajar di sekolah enam hari dalam seminggu.

"Sebelumnya lima hari mulai Senin sampai Jumat mengikuti pendidikan Malaysia. Akhirnya kami usulkan ikut sistem Indonesia selama lima hari. Alhamdulillah diizinkan," ujar Nurdin. Diakui, sarana dan prasarana pendidikan di wilayah perkebunan, khususnya buku dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya, sangatlah minim.

Nurdin pun sangat berharap ada perhatian pemerintah, khususnya bantuan buku-buku pelajaran, jika ada program bagi-bagi buku. "Kami guru lokal. Tidak dibayar pemerintah. Kami tinggal di ladang. Bangunan sekolah pun terbuat dari kayu yang dibuat oleh perusahaan. Cukup dua ruangan. Empat guru dan siswa 142 lebih. Dalam dua ruangan itu dibagi empat sekat kecil. Jadi empat ruangan. Belum ideal," ulasnya tentang kondisi CLC.

Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur, Ari Purbayanto, mengakui keberadaan CLC sangat penting untuk memperluas akses pendidikan bagi anak-anak pekerja migran Indonesia yang bekerja di perkebunan sawit.

"Berbagai upaya telah kami lakukan seperti mengupayakan beasiswa bagi para lulusan SMP agar bisa meneruskan ke berbagai sekolah formal di Indonesia. Pemerintah juga sedang merintis pendirian SMA di Sebatik, untuk menampung lulusan di Sabah," ujarnya.(Ant/H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik