Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Seniman Sejuta Dolar

Ardi Teristi Hardi
06/10/2016 07:10
Seniman Sejuta Dolar
(MI/ARDI T RISTY)

SESOSOK lelaki berkulit hitam dan berbadan kekar tampak sedang mengangkat sebuah bola dengan sebelah tangannya. Sambil menahan beban, lelaki itu tetap memperlihatkan deretan giginya yang putih. Itulah gambaran objek lukisan yang tersandar di ruang kerja perupa I Nyoman Masriadi. “Lukisan ini masih dikerjakan. Belum jadi, belum ada judul,” kata Masriadi sambil menunjukkan karya yang berukuran sekitar 1,5 meter x 2,5 meter tersebut. Sesaat Masriadi terdiam, lalu ia berujar, "I Have a Ball." Kata-kata tersebut muncul secara spontan dari mulutnya lalu diikuti dengan tawa puas. Menurutnya, judul tersebut sementara ini cocok untuk lukisannya. “Bola menyimbolkan kekuasaan. Seorang lelaki yang sedang mengangkat sebuah bola,” lanjut dia. Judul tersebut, kata dia, bisa saja berubah karena lukisannya memang belum selesai dikerjakan. Masriadi mengaku lukisan I Have a Ball sudah sekitar dua bulan yang lalu dibuat, tetapi belum selesai hingga sekarang. Setelah mengikuti pameran bersama di Jakarta pada awal Agustus 2016 lalu, ia berhenti melukis hingga saat ini. Ahasil, I Have a Ball pun belum menjadi lukisan yang utuh. Ia pun belum menemukan eksekusi akhir yang tepat untuk lukisan itu. Walau sudah dua bulan, pengerjaan lukisan tersebut bukanlah yang terlama. Masih ada lukisan lain yang pengerjaannya jauh lebih lama. “Rekor paling lama saya mengerjakan lukisan hingga enam bulan, sedangkan paling cepat dalam dua minggu,” ujar dia. Karena Masriadi relatif jarang menghasilkan karya, hingga saat ini lukisan karyanya menjadi salah satu yang paling dicari untuk dikoleksi. Tidak jarang, karyanya dihargai tinggi hingga miliaran rupiah. Dari catatan yang ada, misalnya, The Man from Bantul terjual 7,82 juta dolar Hong Kong di Sotheby’s Hong Kong (2008), lukisan berjudul Fatman terjual US$627.249 (2013) di Christie’s, Tiongkok, dan lukisan yang berjudul Shangri-La dihargai Rp4,5 miliar (2015) di Art Jog. Karena lukisannya pernah dihargai sekitar US$1.000.725, Masriadi sering mendapat sebutan pelukis satu juta dolar AS. Kurator seni rupa, Mike Susanto, dalam artikelnya menyebut sosok hiper-askulin yang ditampilkan Masriadi dalam lukisannya merupakan bentuk fantasi atas kenyataan hidup yang menegang, mengalami dehumanisasi. Dengan kekuatan bentuk, tema, dan kesegaran dalam lukisannya, ia pun mendapat undangan untuk pameran di berbagai tempat, baik dalam maupun luar negeri. Salah satu pameran tunggalnya di luar negeri dilakukannya di Paul Kasmin Gallery, New York, Amerika Serikat, pada April 2016 lalu.

Memilih melukis
Sosok Masriadi memang sudah sangat dikenal di dunia seni rupa kontemporer dengan harga lukisannya yang selangit. Walau demikian, pria kelahiran 1973 itu tetap terlihat rendah hati dan bersahabat. Dalam perbincangan Media Indonesia di rumahnya, di daerah Ngaglik, Sleman, Rabu (21/9) petang, tawa lepas sering keluar dari kami ketika Masriadi bercerita tentang perjalanan kariernya di dunia seni rupa. Jika dirunut ke belakang, kesuksesan Masriadi saat ini tidak lepas ari keteguhan tekadnya meraih cita-cita. Masriadi sejak kecil sudah bercita-cita menjadi seorang seniman. Lahir dan tumbuh di Bali membuat Masriadi sangat dekat dengan dunia seni. Selain suka menggambar, saat kecil dirinya pernah mencoba membuat patung dari kayu secara autodidak. Namun, setelah beberapa kali mencoba membuat patung kayu, ia kemudian berhenti. Menurut dia, tidak ada kepuasan yang dirasakan saat membuat patung. Selain itu, membuat patung kayu berat dan melelahkan. Dari situ, keinginan untuk bisa menggambar semakin kuat. Keinginannya itu ditumpahkan dengan mencoret-coret berbagai media, dari tanah, lantai semen, hingga di buku. Sama seperti anak-anak sekolah pada umumnya, bagian belakang buku yang kosong menjadi halaman favoritnya sebagai tempat corat-coret. Waktu SMP, ada seorang teman yang meminta dibuatkan gambar pacarnya. Dengan berbekal pensil dan kertas kosong, ia pun kemudian menggambar pesanan itu. Setelah selesai, ia lalu dibayar Rp2.000. “Itu satu-satunya (yang dibayar). Mana ada anak SMP yang punya uang sebanyak itu waktu itu,” kata dia sembari tertawa. Selepas lulus SMP negeri di Sukawati, Bali, Masriadi memilih melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Diakuinya, pilihan tersebut di luar mainstream. Hanya ia sendiri yang melanjutkan ke SMSR, sedangkan siswa lainnya memilih melanjutkan ke sekolah menengah atas (SMA). Para siswa di Sukowati saat itu tidak terpikir untuk melanjutkan ke SMSR karena levelnya dianggap lebih rendah. Selain itu, tanpa menempuh sekolah seni, mereka juga sudah memiliki jiwa seni dan dapat mengasah kemampuan di rumah masing-masing. Di ISI, pendidikan di kelas dan pergaulan dengan teman-teman sedikit banyak mengasah kepekaan seninya. Semasa kuliah, kematangannya dalam melukis semakin tampak. Ia pun pernah mendapat penghargaan lukisan terbaik di Dies Natalis ISI Yogyakarta pada 1997. Walau memiliki kemampuan di atas-rata-rata, Masriadi tetap merendah. Ia mengaku tidak tahu banyak tentang dunia seni rupa kala itu. Bahkan, banyak temannya jauh lebih paham tentang seniman-seniman terkenal dan karya-karya mereka. Selain pameran di Bentara Budaya, booming seni rupa yang terjadi pada 2007 turut andil mengangkat namanya di dunia seni rupa internasional. Saat itu menjadi momentum seniman-seniman seni rupa muda Indonesia, termasuk dirinya, memijakkan kaki di peta seni rupa internasional. Berbagai galeri baik dalam maupun luar negeri mengajaknya untuk bergabung dan mengadakan pameran bersama. Pameran tunggal di Singapore Art Museum (2009) dengan judul Hitam Adalah Senjata menandai kiprah Masriadi di dunia seni rupa internasional. Itu pameran tunggal pertamanya dan digelar di luar negeri. Lewat pameran itu, Masriadi pun semakin dikenal lewat karya-karya lukisan yang menampilkan objek seorang lelaki berkulit hitam dengan tubuh yang berotot laiknya seorang petinju. Setelah cukup lama berkiprah di dunia seni rupa, Masriadi mengatakan ada tiga media yang dapat membuat karya dan dirinya dikenal luas, yaitu lewat pameran, bursa seni, dan lelang. Tiga hal itu yang membuatnya menggelar pameran di berbagai negara. Walau telah menggelar pameran hingga luar negeri, Masriadi belum pernah sekali pun menggelar pameran tunggalnya di dalam negeri. Yang menjadi kesulitan ketika harus menggelar pameran tunggal ialah mengumpulkan karya-karya yang akan dipamerkan. Hal itu disebabkan karya-karyanya saat ini banyak berada di galeri-galeri seni, sedangkan yang ada di tempatnya hanya beberapa. “Menarik juga kalau membuat pameran tunggal di MAF (Masriadi Art Foundation),” kata dia sembari tertawa. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya