Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
TRENDING topic mengenai wacana kenaikan harga rokok seolah menggugah kesadaran kolektif bahwa dalam dunia pendidikan, rokok merupakan ancaman yang besar bagi siswa.
Perilaku merokok yang ditampilkan sebagian siswa merepresentasikan hal negatif.
Bahkan, bila siswa SD hingga sekolah lanjutan menjadi perokok aktif, amat mungkin mereka mengalami burn out (kejenuhan belajar), drop out, dan pendidikan dasar yang tidak selesai.
Dalam jangka panjang, jika para siswa tidak menyelesaikan pendidikan, memiliki minat belajar rendah, negara akan menanggung kerugian SDM yang tidak ringan, semisal mengguritanya patologi sosial.
Ketika seorang siswa sedang dalam keadaan jenuh, sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan jalan di tempat.
Bila kemajuan belajar yang jalan di tempat ini kita gambarkan dalam bentuk kurva, yang tampak ialah garis mendatar yang lazim disebut plateau (Muhibbin Syah, 2013).
Jika kejenuhan belajar dibiarkan begitu saja, siswa dapat mengalami tekanan mental dan stagnansi hasil belajar.
Mereka akan cenderung berleha-leha dan tidak mampu merespons pembelajaran.
Kelelahan emosional yang dialami siswa mengakibatkan siswa berlari dari ketegangan emosi menuju perilaku terlalu santai, seperti merokok.
Pada gilirannya, siswa yang telah kecanduan merokok akan sulit menahan nafsu oral untuk mengisap sehingga akan keluar kelas, membolos, bahkan drop out.
Tidak sedikit siswa perokok yang berawal dari hambatan akademik.
Umumnya, mereka tertinggal dalam mengikuti pelajaran, kurang mendapat stimulasi belajar sesuai dengan kapasitas mental, dan diabaikan guru.
Siswa dengan permasalahan akademik, seperti anak yang tinggal kelas, dan memiliki motivasi berprestasi rendah cenderung kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghargaan diri.
Dalam berbagai perbincangan dengan para guru sekolah lanjutan, penulis sering mendapat narasi kekhawatiran para pendidik tentang perilaku merokok pada siswa.
Tragisnya, banyak siswa perokok yang mewajibkan para orangtua menyediakan ongkos rokok dan mengancam mogok sekolah jika keinginan mereka tidak dipenuhi.
Mirisnya lagi, tidak sedikit siswa perokok yang berasal dari keluarga prasejahtera sehingga kebiasaan merokok akan mengguncang perekonomian keluarga.
Orangtua berharap anak dapat memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan, tapi nyatanya mereka ditampar kenyataan bahwa anak-anak tidak sungguh-sungguh belajar.
Mereka lebih memilih merokok, membolos, dan berperilaku negatif.
Sebagai upaya merespons perilaku merokok di sekolah, secara repetitif, dunia pendidikan melakukan upaya (yang menurut mereka) preventif, misalnya, razia rokok di kelas.
Upaya klasik ini membuahkan hasil. Setidaknya, sekolah bisa menandai siswa-siswa yang membawa rokok dan merokok di lingkungan sekolah.
Sayangnya, umpan balik dari razia rokok di sekolah tak selalu efektif.
Banyak pendidik yang merespons perilaku merokok dengan negatif,
terburu-buru menghakimi siswa, dan memberi label negatif pada siswa perokok.
Padahal, sikap pendidik yang demikian justru akan menambah tekanan psikis pada siswa.
Banyak pendidik lupa bahwa sangat bisa jadi, siswa merokok bukan karena sebuah keinginan, melainkan karena jebakan pergaulan dan budaya.
Menjadi siswa perokok, abai terhadap tugas akedemik, abai terhadap peraturan sekolah, dan nasihat orangtua bukanlah suatu hal menyenangkan.
Jauh di dalam lubuk hati siswa perokok mengemuka kesadaran bahwa mereka ingin berubah.
Pun begitu, tak banyak pendidik dan orangtua yang bisa memberikan pelita bagi siswa perokok.
Segaris dengan hal itu, tak banyak pula pendidik yang mau memahami dan berjuang mengentaskan siswa dari perilaku merokok.
Bahkan, agenda untuk mencegah perilaku merokok pada siswa pun luput dalam catatan penting.
Dunia pendidikan tidak bisa mengelak bahwa setiap sekolah seyogianya memberikan perhatian besar kepada siswa, terutama mengenai pencegahan perilaku merokok.
Tanpa proteksi sekolah, beberapa anak dengan predisposisi tertentu rentan mengonsumsi rokok.
Salah satu penyebab anak menjadi perokok aktif yang perlu diwaspadai ialah kelelahan emosional.
Kelelahan emosional dapat dirasakan siswa dapat menjurus pada keinginan untuk merokok. Salah satu penyebab kelelahan emosional siswa ialah kegagalan akademik.
Weiner (1990) mengemukakan kegagalan akademik dapat menurunkan kepercayaan diri dan orientasi penguasaan, menurunkan kepercayaan diri, dan menimbulkan reaksi negatif.
Merokok merupakan salah satu reaksi negatif dari siswa yang gagal secara akademik.
Pada poin inilah, sekolah perlu merekonstruksi ulang persepsi pembelajaran. Guru perlu menaruh apresiasi atas proses daya juang belajar siswa dan tak melulu pada hasil.
Paradigma bahwa setiap anak memiliki individual differences (perbedaan individual) harus dipegang dengan komitmen kuat.
Perlu disadari guru tak hanya menjadi fasilitator belajar bagi siswa.
Selain membimbing belajar, guru perlu membekali siswa dengan keterampilan self-management.
Pada gilirannya, self-management dapat menjadi modal siswa untuk membelajarkan apa yang seharusnya dipelajari sekaligus membelajarkan bagaimana belajar.
Selain mengatasi kejenuhan belajar siswa, sekolah dapat melakukan pendekatan individual dan kelompok.
Siswa perokok membutuhkan pendampingan dan bukan kemarahan, apalagi label negatif siswa nakal.
Perilaku merokok pada siswa perlu mendapat penanganan khusus dari sekolah.
Guru perlu memberikan perhatian khusus kepada siswa perokok, terutama yang berkaitan dengan keadaan emosi siswa.
Guru perlu mendalami kondisi psikologis siswa, terutama ketika merokok menjadi ekspresi atas kejenuhan belajar, frustrasi, dan rasa tertekan.
Di sisi lain, guru perlu memberikan pengawasan maksimal, membangun suasana persahabatan di dalam kelas, sehingga setiap siswa akan merasa nyaman, tidak terancam, dan merasa mendapatkan penerimaan positif.
Sebagai strategi tambahan, guru perlu mengubah persepsi siswa bahwa merokok bukanlah lambang kejantanan dan popularitas.
Guru dapat memberikan edukasi menolak rokok kepada siswa.
Agar ajakan untuk menolak rokok menjadi lebih berdaya, hendaknya nasihat disampaikan guru yang memiliki figur otoritas.
Pun begitu, guru yang memiliki figur otoritas sangat sulit ditemui.
Karena itu, dunia pendidikan memiliki pekerjaan rumah yang tidak mudah, yakni mencetak guru yang diakui sebagai figur otoritas siswa.
Guru yang mampu menjadi figur otoritas bagi siswa akan mendapat tempat di hati siswa.
Dengan demikian, ucapan, perbuatan, dan nasihatnya akan dijadikan pegangan hidup.
Guru ini mampu menerima siswa, memahami, mendekati, dan menyampaikan pesan-pesan moral secara efektif.
Beberapa pesan moral yang penting disampaikan agar siswa tidak terjebak pada perilaku merokok di antaranya, kerja keras, hidup sederhana, dan berdaya juang.
Setidaknya, tiga sikap dasar tersebut mampu mengarahkan siswa untuk tidak boros (baca: enggan mengonsumsi rokok), gigih dalam belajar dan mengatasi hambatan belajar (baca: tidak mudah jenuh belajar), dan memiliki motivasi berprestasi.
Apabila guru di negeri ini mampu menyampaikan mengarahkan siswa untuk tidak merokok, tentu pelajar di Indonesia akan menjadi generasi cemerlang yang berdaya.
Wallahualam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved