Headline
Istana minta Polri jaga situasi kondusif.
TIGA puluh tahun silam, Rahadewi Neta hanyalah seorang gadis kecil yang terpaksa menekuni bela diri. Tinggal di daerah rawan kekerasan di pinggiran Surabaya, Jawa Timur, Neta dituntut orangtuanya harus bisa menjaga diri. Sang ayah yang memang memiliki keahlian beberapa olahraga bela diri mendorong Neta menekuni taekwondo. Bela diri asal Korea yang memadukan kekuatan kaki dan tangan. Tidak hanya untuk keselamatan diri, sang ayah yakin bahwa taekwondo juga bisa menaikkan derajat keluarga mereka yang memiliki perekomian pas-pasan. “Ayah selalu bilang, taekwondo ialah napasmu. Tak ada lagi yang bisa menaikkan derajat keluarga selain taekwondo. Jadi, berprestasilah dari taekwondo maka keluarga kita akan dipandang oleh banyak orang,” kenang Neta atas ucapan almarhum ayahnya itu. Ketika dijumpai Media Indonesia di Yayasan Universal Taekwondo Indonesia (UTI) Pro, Selasa (9/8) lalu, Neta mengaku sudah harus bekerja dan berlatih secara keras sejak masih usia dini. Tak ada perlakuan khusus terhadap dirinya yang merupakan bungsu dari tiga bersaudara. “Kebetulan bukan saya saja yang dilatih taekwondo, ketiga kakak saya juga. Kebetulan kesemuanya berhasil menjadi atlet nasional serta mengukir prestasi di berbagai ajang kompentisi nasional dan internasional,” tutur perempuan 32 tahun ini.
Dari atlet jadi wasit
Ketekunan Neta berlatih taekwondo membawanya ke ajang nasional. Tepat di pada 1999, perempuan bertinggi badan 165 sentimeter ini masuk pelatihan nasional (pelatnas). Di saat itu juga, Neta memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya dan meneruskan pendidikan di sekolah olahraga di Ragunan, Jakarta. Dari situ berbagai gelar juara ia kumpulkan. Setelah menjalani periode yang cukup lama sebagai atlet taekwondo, di tahun 2009 Neta memutuskan untuk mundur sebagai atlet. Namun tak sampai di sana, karena kecintaan dan pengabdiannya pada dunia taekwondo, di tahun itu juga, Neta langsung mengambil lisensi sebagai pelatih. Tak butuh waktu lama bagi Neta untuk mendapatkan lisensi pelatih nasional. Karena di tahun yang sama, Neta sudah mendapatkan apa yang diinginkan dan sudah bisa melatih para atlet taekwondo muda nasional. Pengalamannya sebagai atlet tentu sangat memudahkan dirinya menjadi seorang pelatih.
“Karena masih cinta dan hidup saya di dunia taekwondo, saya mengambil lisensi pelatih nasional setelah pensiun. Namun, karena merasa tertantang, di tahun berikutnya saya mengambil lisensi pelatih internasional, dan alhamdulilah saya dapat itu,” jelasnya. Tidak berhenti disitu, ia kemudian terjun sebagai wasit.
Neta mengungkapkan dunia wasit dan atlet sangatlah berbeda. Sebagai wasit, dia butuh membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi. Adapun saat jadi atlet, faktor emosional, menurutnya, jauh lebih dominan. Namun, bekal pengalaman menjadi atlet dirasakannya mampu membuatnya menjadi wasit yang matang. “Jadi memang beda. Saya pikir kalau dulunya bukan atlet, seorang wasit akan kesulitan karena gerakan atlet itu kadang tidak terduga,” kata Neta. Kerja keras Neta itu tidak sia-sia. Kini Neta memegang setidaknya tiga sertifikat wasit tingkat internasional. Dirinya pun pernah dinobatkan jadi wasit terbaik di tiga kejuaraan taekwondo tingkat dunia dan berhasil masuk ke jajaran 30 wasit taekwondo terbaik dunia. Jejak terbarunya sebagai pengadil adalah di Olimpiade yang belum lama berlangsung di Rio De Janeiro, Brasil. Posisi menjadi pengadil di Olimpiade tidak didapat dengan mudah. Neta harus menjalani seleksi selama 11 bulan dan bersaing dengan 100 orang lainnya dari seluruh dunia. Di luar itu keberhasilan Neta juga sedikit melipur lara kegagalan tim taekwondo untuk tampil di Olimpiade tersebut. Neta pun menggaungkan nama Indonesia meski dari sisi lain lapangan. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved