RASANYA tidak aneh lagi fenomena keaiban pasangan suami-istri yang sama-sama dibui.
Itu karena kasusnya sudah bukan hanya satu atau dua lagi.
Yang memiriskan, mereka bukan warga biasa, melainkan orang-orang terpandang, para pemimpin.
Ada wali kota, bupati, hingga gubernur yang bersama istri masing-masing menghuni hotel prodeo.
Idealnya, suami-istri memang harus kompak luar-dalam.
Dengan demikian, akan terwujud keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah.
Syukur-syukur keharmonisan mereka mewujudkan keluarga bahagia itu bisa menjadi teladan atau inspirasi pasangan lain atau yang ingin berumah tangga.
Namun, kekompakan suami-istri yang sama-sama dipenjara dalam kasus tindak pidana tentu model tidak baik.
Mereka mengimplementasikan keharmonisan dalam konspirasi jahat.
Seyogianya, sumpah seia-sekata itu akan elok bila diwujudkan dengan sikap saling mengingatkan bila di antara mereka ada yang meleng.
Atas kenyataan itu, kepada mereka patut disampaikan unek-unek, apa sesungguhnya motivasi menjadi pemimpin?
Mencermati kasus mereka, spirit menjadi pemimpin tampaknya soal nafsu berkuasa.
Maka, ketika kekuasaan dalam genggaman, yang muncul hasrat memenuhi kepentingan sepihak. Itu bentuk pelencengan amanah luar biasa.
Ini sekaligus merupakan bukti banyaknya pemimpin yang tidak memiliki modal sejati.
Modal didegradasikan sekadar berupa sejumlah duit dan adanya dukungan parpol.
Ini menjadi jawaban kenapa demokrasi kita hingga 17 tahun usia reformasi, tidak membawa percepatan kemakmuran dan kemajuan bangsa. Lembu Andini Kisah pemimpin bersama istri masuk penjara ternyata juga ada dalam dunia wayang.
Pula pasangan ini dihukum karena menerjang hukum.
Menikmati sesuatu yang bukan miliknya. Padahal, dari aspek kapabilitas dan akseptabilitas, ia merupakan pemimpin yang mumpuni.
Selain itu, bedanya dengan pelaku tindak pidana di negeri ini, tokoh dalam cerita tersebut sejak awal mengakui bahwa dirinya melanggar angger-angger (hukum).
Mereka juga dengan lapang dada siap menerima apa pun hukuman yang ditimpakan.
Dia yang melakoni peristiwa tragis itu bernama Prabu Pandudewanata. Raja Astina tersebut bersama istri mudanya, Dewi Madrim, dipenjara di Kawah Candradimuka.
Sebenarnya, Pandu memiliki 'kartu as' untuk membangkang atas hukuman yang dijatuhkan dewa.
Namun, ia memilih tidak melakukan pembelaan diri.
Ia dan istri pasrah karena salah.
Lantas, apa kesalahan Pandu dan Madrim sehingga mereka rela menjalani hukuman yang mengerikan itu?
Dewa menghukum Pandu-Madrim karena mengendarai Lembu Andini untuk berpiknik.
Lembu Andini merupakan 'hewan suci' milik pribadi Raja Kahyangan Jonggring Saloka Bathara Manikmaya alias Bathara Guru.
Siapa pun titah tidak ada yang berhak menggunakan selain Manikmaya.
Awal ceritanya, Madrim sedang mengandung muda.
Seperti umumnya perempuan yang hamil, Madrim mengidam.
Masalahnya tidak biasa, ia mengidam menikmati keindahan jagat raya di atas punggung Lembu Andini yang sedang mengangkasa.
Sebagai suami, apalagi raja gung binathara (seagung dewa), Pandu lingsem (malu) bila tak kuasa memenuhi Madrim.
Padahal, ia tahu betul bahwa konsekuensi permintaan itu sangat serius.
Namun, Pandu tak pernah ragu.
Baginya, sinyal dari jabang bayi itu dianggap 'perintah suci' yang mesti di-esti, diniat-laksanakan.
Sebelum bertindak, Pandu sempat memplenokan tekadnya itu di depan para sentana dan nayaka praja.
Reaksinya, seluruh peserta pertemuan menunjukkan keprihatinan, tapi tidak kuasa menghentikan.
Hanya Resi Bhisma, pepunden Astina, yang mengingatkan Pandu agar mengurungkannya.
Pandu memahami pesan yang tersirat dari peserta rapat. Ia juga menghargai saran Bhisma.
Namun, Pandu telah berbulat tekad meminjam Lembu Andini untuk dikendarainya bersama istri, apa pun risikonya.
Karena itu, ia tetap meminta doa restu dari semua sentana dan nayaka praja, serta rakyat Astina.
Pandu lalu terbang ke Kahyangan.
Sesampainya di Kahyangan, Pandu langsung menghadap Bathara Manikmaya.
Sejenak setelah mengaturkan sembah, Pandu mengungkapkan kepentingannya bahwa dirinya bermaksud meminjam Lembu Andini.
Kelancangannya itu terpaksa dilakukan karena desakan istrinya yang sedang mengidam.
Manikmaya terperanjat.
Ia sebut itu melanggar hukum jagat.
Namun, Pandu mendesak, bahkan ia bersumpah siap menerima hukuman.
Bagi Manikmaya, Pandu adalah titah yang tidak akan pernah terlupakan.
Anak Begawan Abiyasa itulah yang dulu pernah menenteramkan Kahyangan dari jamahan nista Prabu Nagapaya (lakon Pandu Sraya).
Itulah yang meruntuhkan keteguhan Manikmaya.
Sejenak Manikmaya berdiam.
Lalu, ia mengingatkan Pandu akan ada hukuman setimpal yang dijatuhkan.
Akhirnya, Pandu dipersilakan membawa Andini turun ke marcapada.
Singkat cerita, Pandu dan Madrim bertamasya menjelajah angkasa di atas punggung Andini.
Setelah puas, Andini kemudian dikembalikan ke Manikamaya.
Contoh buruk Pada suatu hari, menurut salah satu versi seni pedalangan, Pandu meninggal dunia.
Ia gugur ketika berperang melawan muridnya sendiri, Tremboko, Raja Pringgondani.
Madrim menyusul Pandu, meninggal ketika melahirkan anak kembar, yang dewasanya bernama Nakula dan Sadewa.
Namun, suksma suami-istri itu tidak masuk surga.
Dewa memenjarakan keduanya di Kawah Candradimuka.
Lalu, bagaimana nasib Pandu-Madrim selanjutnya?
Dalam sanggit dalang, Pandu dan Madrim bebas dari penjara setelah anak-anak besar.
Selain Nakula dan Sadewa, Pandu memiliki tiga anak dari istri pertama, Kunti.
Mereka ialah Puntadewa, Werkudara, dan Arjuna.
Kelima kesatria itulah yang disebut Pandawa.
Dalam lakon Pandu Swarga, Werkudara langsung membebaskan Pandu-Madrim dari Kawah Candradimuka.
Werkudara protes kepada Manikmaya atas hukuman orangtuanya yang dinilai tidak ada akhir.
Ia rela menjadi tumbal asal bapak dan ibu tirinya bebas.
Dikisahkan Werkudara menceburkan diri ke Kawah Candradimuka.
Ajaibnya, api padam dan suasana menjadi hening dan tenteram.
Seiring dengan itu, datanglah sejumlah bidadari menjemput Pandu dan Madrim keluar dari Candradimuka untuk kemudian menuju Swargaloka.
Hikmah dari kisah tragis Pandu itu ialah contoh buruk pemimpin yang mementingkan urusan pribadi.
Pandu mengabaikan sumpah dan amanah sebagai pemimpin bangsa dan negara Astina. (M-4)